SURABAYA, DISWAY.ID- Presiden Joko Widodo sudah mengeluarkan aturan pelonggaran kegiatan masyarakat. Mulai aturan menggunakan kendaraan umum sampai pendidikan. Salah satu pertimbangannya, persebaran virus Covid-19 sudah terkendali.
Namun, kondisi itu belum berlaku di tingkat peradilan. Di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, persidangan masih dilakukan online. Masih berpatokan pada peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2020.
Beberapa hakim pun mengeluh dengan penerapan itu. Beberapa kesulitan mereka alami. Yaitu, ketika dalam prosesi sidang, jaringan jelek. Tiba-tiba koneksi terputus. Terkadang terdakwa tidak mendengarkan suara dari ruang sidang di Pengadilan Negeri Surabaya. Atau malah sebaliknya.
Apalagi, kalau kondisi itu terjadi saat pemeriksaan terdakwa. Akibatnya, hakim kesusahan untuk menilai keterangan yang dikeluarkan terdakwa itu jujur atau tidak. Namun, karena pandemi Covid-19, mereka harus melakukan semua itu. Kurang lebih dua tahun kegiatan tersebut dilakukan.
Pertimbangan sidang dengan menghadirkan terdakwa secara offline (tatap muka) sempat dilontarkan hakim Erintuah Damanik. Saat itu ia sedang mengadili perkara pencurian dengan terdakwa Suryadi.
Saat persidangan dengan agenda penuntutan jaksa penuntut umum (JPU) tersebut, Suryadi menolak namanya. Untuk itu, Erintuah langsung memerintah JPU untuk segera berkoordinasi dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM) untuk dilakukan sidang tatap muka.
Bukan cuma satu hakim yang mengeluh dengan peradilan online. Hakim Suparno merasakan hal serupa. Humas PN Surabaya itu sering kali mengeluarkan suara sangat keras agar terdakwa yang mengikuti sidang secara online bisa mendengar.
”Kadang-kadang juga gak dengar. Sampai serak suara saya. Tapi, ya mau gimana. Sudah aturan. Mau saya pelan-pelan, nanti terdakwanya gak dengar. Saya dengan nada tinggi juga salah. Dikira saya bentak-bentak terdakwa,” katanya lesu.
Menanggapi hal tersebut, salah seorang praktisi hukum Surabaya, Abdul Malik, berpendapat bahwa persidangan wajib digelar secara tatap muka. Sebab, sidang secara virtual alias online menurutnya tidak objektif.
”Wajib terdakwa hadir ke persidangan. Sebab, tidak akan objektif kalau virtual. Dari segi pembuktian juga akan kesulitan. Sehingga kualitas persidangan akan berkurang,” jelas ketua Kongres Advokat Indonesia (KAI) Jatim itu Minggu (22/5).
Termasuk barang bukti dan saksi harus dilihat langsung terdakwa. ”Contohnya waktu pemeriksaan terdakwa. Itu suaranya tidak jelas kalau secara virtual. Pengalaman saya banyak terdakwa itu hanya menjawab. Tetapi, tidak kedengaran oleh hakim. Soalnya, suaranya putus-putus. Jadi, diulang-ulang terus. Jika seperti itu, korelasinya nanti pada putusan majelis hakim,” bebernya. (*)