Setelah wayang topeng Malang usai, salah satu penyelenggara membawa pikulan berisi perlengkapan rumah tangga, seperti wajan, panci, sapu dan lain sebagainya. Ibu-ibu yang juga warga setempat telah bersiap. Rupanya pikulan itu untuk diperebutkan. Para penonton bebas mengambil apa saja. Harus cepat, sebab kalau lambat sedikit saja tidak kebagian.
“Dalam istilah kami, pikulan itu disebut encek-encek. Diperebutkan oleh banyak orang, melambangkan kebahagiaan masyarakat,” terang budayawan yang tinggal di Janti, Malang itu.
Setelah barang-barang diperebutkan, Ki Sholeh dan beberapa orang lain membawa ubarampe atau perlengkapan. Termasuk sesaji yang telah disiapkan. Yakni potongan tumpeng, jajan polo pendhem atau jenis buah-buahan yang tumbuh di dalam tanah, seperti kentang, wortel dan sebagainya, jajan polo gemantung atau buah-buahan yang tumbuh menggantung, seperti jeruk, mangga, pepaya.
Ada juga beberapa potong pakaian yang menjadi bagian dari ubarampe tersebut. Kemudian, Ki Sholeh dan kawan-kawan membawa semua itu dan melarungkannya ke sungai terdekat. Dua orang menceburkan kakinya ke sungai dan melepas semua ubarampe itu hingga terbawa arus.
Setelah itu semua orang kembali lagi ke panggung dan makan bersama penuh kehangatan. Mereka berbincang-bincang akrab tentang seni, budaya dan tradisi yang lambat laun semakin terkikis kemajuan zaman.
Jika menilik ujaran sejarawan Niels Mulder dalam bukunya Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa, ia menulis bahwa bangsa Indonesia, masyarakat Jawa khususnya, adalah masyarakat seremonial. Hampir setiap peristiwa dalam diri manusia maupun masyarakat, diperingati dengan sebuah upacara. Termasuk ruwatan.
“Tidak salah untuk senantiasa melestarikan tradisi ruwatan. Paling tidak, semua itu dapat membuat mindset kita menjadi positif. Juga, sebagai doa dan harapan pada Tuhan, untuk masa mendatang yang lebih baik,” katanya. (Guruh Dimas Nugraha)