Dunia demam gerakan ”Me Too” sejak 2017, diawali dari Amerika Serikat. Gerakan itu muncul akibat kasus produser film Harvey Weinstein di New York dan Los Angeles melakukan pelecehan seksual terhadap ratusan perempuan dan memerkosa puluhan perempuan. Umumnya para artis perempuan.
Dikutip dari The New York Times, 30 April 2021, kasus Harvey Weinstein bermula dari 27 Maret 2015. Model cantik asal Italia, Ambra Battilana, yang jadi bintang film produksi Harvey Weinsten melapor ke polisi New York.
Si cantik Battilana memolisikan, bahwa Weinstein meraba payudaranyi ketika pertemuan bisnis di kantor Weinstein, kawasan TriBeCa Manhattan. Tapi, tidak ada bukti atas laporan tersebut. Polisi pun mengabaikan.
Esoknya, 28 Maret 2015, Battilana bekerja sama dengan penyelidik New York, menggali bukti.
Caranya, Battilana minta waktu ketemu Weinstein. Yang disambut gembira Weinstein, memerintahkan Battilana mengunjungi Weinstein di TriBeCa Grand Hotel. Battilana pun mendatangi kamar Weinstein.
Di kamar, Battilana memancing, dengan cara marah, agar Weinstein meminta maaf ketika meraba payudara pada pertemuan sebelumnya. Dan, diam-diam, Battilana merekam pembicaraan tersebut.
Weinstein memang meminta maaf. Diharapkan Battilana, rekaman itulah bukti hukum. Lalu, kasusnya diproses polisi.
Tetapi, setelah penyelidikan dua minggu oleh jaksa kejahatan seks, jaksa wilayah Manhattan Cyrus R. Vance Jr. mengumumkan bahwa bukti tidak mendukung tuntutan kejahatan seks terhadap Weinstein.
Di kasus itu, Weinstein lolos jerat hukum. Tapi, kasus tersebut mendapat liputan media massa. Akibatnya, itu memicu ratusan perempuan yang pernah dilecehkan Weinstein, satu demi satu melapor kepolisi. Ada yang punya bukti hukum, ada yang tidak.
Karena gencarnya laporan itu, akhirnya Weinstein benar-benar dihukum. Itulah munculnya gerakan ”Me Too” yang kemudian meluas, mendunia.
Hujan deras kasus pemerkosaan di Indonesia sekarang barangkali tidak terkait ”Me Too”. Sebab, gerakan itu hanya populer di masyarakat menengah ke atas.
Sedangkan, semua korban pemerkosaan Herry Wirawan orang miskin. Ortu mereka buruh tani, tukang bangunan, tukang sayur, tukang ojek, buruh serabutan.
Tapi, pelaporan polisi kasus pemerkosaan kini berentet. Ambyar berhamburan. Seperti mengikuti tren ”Me Too”. Jadi, beginilah ”Me Too” Indonesia. (*)