Bulan atau sasi Suro adalah bulan suci bagi para penghayat kepercayaan Jawa. Termasuk Sapta Darma. Pada 29 Juli 2022, mereka mengadakan Mapag Suro. Ritus satu malam jelang Suro.
--
Di ruang Sanggar Sapta Darma, Jalan Darmo Satelit, Surabaya, beberapa penghayat kepercayaan Sapta Darma berkumpul.
Para penghayat sebagian besar mengenakan pakaian warna putih. Lengkap dengan blangkon atau sorban panjang yang sulurnya melintang hingga ke pundak. Seperti pakaian yang digunakan Bopo Panuntun Agung Sri Gutomo, pendiri Sapta Darma.
“Malam ini kami mengadakan upacara Mapag Suro. Tradisi tahunan yang diselenggarakan satu malam sebelum sasi Suro,” ungkap Ki Madiro, ketua Sapta Darma Indonesia. Pukul sembilan malam, peribadatan digelar.
Sebelum doa bersama, para penghayat mengadakan ritus sujud. Yakni doa sembari bersujud di atas kain mori putih dengan sudut runcing menghadapi ke empat penjuru. Mereka beribadah menghadap ke timur.
Sujud dilakukan selama kurang lebih 1 jam. Suasana hening. Para tamu undangan yang hadir menunggu sejenak di luar ruangan. Memersilahkan para penghayat untuk beribadah, yang dipimpin oleh Eko Suharmanto.
Usai sujud, mereka berkumpul melingkar. Di tengah-tengah adalah sajian tumpeng, ayam panggang, berbagai buah-buahan dan bubur suro, bubur khusus ritus suro yang memiliki nama lain: bubur merah putih.
Menyambut Tahun Baru bagi kepercayaan Jawa, Ki Madiro berharap agar tahun ini semua mahluk Tuhan diberi kesehatan, keselamatan, keberkahan dan kelancaran dalam usaha. “Suro diro jayaningrat, lebur dening pangastuti,” ujarnya. Bermakna bahwa segala sifat keras hati, picik, angkara murka dan sebagainya dapat lebur. Hilang, atas kesadaran diri akan Tuhan.
Satu yang unik, di antara para penghayat Sapta Darma, terdapat sosok perempuan bernama Endang Tri. Dia seorang Tionghoa. Datang ke peribadatan Mapag Suro bersama beberapa keluarganya. “Di antara keluarga, hanya saya yang jadi penganut Sapta Darma. Keluarga lain mengantarkan saja. Mereka empati terhadap saya,” ungkapnya.
Bahkan sebagian bubur suro yang tersaji, dibuat langsung oleh Endang dan keluarganya. “Bawa 60 bubur. Kemudian dijadikan satu dengan bubur suro buatan istri Pak Eko,” terangnya. Dia menghayati Sapta Darma karena ketika bersujud dan beribadah, Endang merasa lebih dekat dengan Tuhan.
Bagi penghayat Sapta Darma, meski sasi Suro identik dengan Tahun Baru Islam, mereka tetap merayakannya. “Karena Bopo Panuntun Agung Sri Gutomo mengimbau umat Sapta Darma untuk berdoa ketika Suro. Sebagai upaya nguri-uri atau melestarikan budaya,” ungkap Eko.
Dalam doa sebelum makan bersama, mereka menyebut nama Allah. Tuhan bagi penghayat Sapta Darma juga disebut Allah. Namun penyebutannya bukan “Alloh” seperti sebutan bagi kaum muslim. Sesuai ejaan: Allah. “Allah Yang Mahakuasa, Allah Yang Mahasuci, Allah Yang Mahaagung,” pungkas Eko dalam doa tersebut. (Guruh Dimas Nugraha)