MASIH ingat wajah setren Kali Jagir 20 tahun yang lalu? Ratusan bangunan berdinding anyaman bambu dan tripleks berdiri berimpitan.
Ribuan orang menetap di rumah tak layak huni itu. Jamban mereka ditopang bambu dan kayu yang menghunjam di sungai. Puluhan tahun mereka dianggap sebagai problem kota. Sepeda motor yang saya tumpangi melaju pelan. Mural-mural di dinding utara kali menyita perhatian. Ada wajah musisi ikonik Surabaya Gombloh. Ada pula lukisan penggusuran yang jadi penanda dulunya tempat ini kumuh. Di ujung jalan, belasan pemuda berkumpul di tenda sederhana beratap paranet. Mereka menyiapkan pertunjukan saat sinar matahari mulai menyengat kulit pukul 10.00. Penonton dan penampil mulai merapatkan barisan ketika MC membuka acara. Mikrofon lalu diberikan kepada Ketua Panitia Ahmed Langit Biru. Holysh*t Performance Art. Begitu mereka menamai acara tersebut. Komunitas Holysh*t Surabaya berisi para seniman yang mayoritas masih mahasiswa. Mereka sengaja memakai setren Kali Jagir sebagai tempat pertunjukan. Itulah wajah Kota Surabaya yang terpinggirkan. Pemkot memang mencoba memperbaiki wajah kotanya. Namun, sisa permasalahan kota itu masih bisa kita temukan ketika mencapai ujung setren Kali Jagir. Masih banyak warga yang tinggal di gubuk tak layak huni.Seniman muda mengenakan toga tampi dihadapan penonton yang duduk beralaskan tanah.-Isam/Harian Disway- Beberapa orang berkolaborasi menampilkan seni olah tubuh itu. Seorang pemuda bertubuh kurus menari-nari dengan memakai toga. Celana, baju, hingga toganya serbahitam. Ia membawa kutang hitam, lalu menamparkannya ke arah penonton satu per satu. Tidak peduli perempuan atau laki-laki. Ia menari seperti orang kesetanan sambil komat-kamit. Tak lama kemudian, pria berambut gondrong mengoyak-oyak tenda paranet dengan tangga kayu yang sudah usang. Aksinya diiringi dengan petikan gitar dan suara lagu. Amarah tak tertahankan hingga tangga kayu itu rusak berkeping-keping. Seorang perempuan paruh baya menghampiri pria gondrong itu dengan membawa sandal jepit. Perempuan tersebut mengomel habis-habisan dengan nada tinggi layaknya seorang ibu memarahi anaknyi. Pria gondrong itu berlari terbirit-birit mencari tempat persembunyian saat sandal tersebut dilemparkan ke arahnya. Tawa penonton meledak saat melihat aksi kocak dua orang itu. Perempuan tersebut lalu pergi. Pria gondrong kembali nongol. Itulah gambaran kritik untuk para sarjana yang ilmunya tidak dipakai. Mereka kuliah demi gelar. Bukan mengejar ilmu. Berbagai kritik ditampilkan melalui seni. Ada 28 penampil yang bergantian untuk beraksi di tepi Anak Sungai Kali Brantas itu.
Penampil Holish*ts Surabaya tidur di atas reruntuhan bangunan di tepian Kali Jagir.-- Acara tersebut merupakan bentuk apresiasi beberapa seniman untuk mengekspresikan diri dalam hal seni olah tubuh. Mas Langit –sapaan Ahmed Langit Biru– selaku ketua pelaksana ingin memberikan ruang bebas kepada peserta dalam kegiatan seni itu. ”Kebetulan juga setren Kali Jagir ini kan dekat dengan sungai, jadi kami bebaskan. Bagi yang mau tampil sambil renang, ya, monggo ,” katanya. Beberapa penampil memang sampai menceburkan diri ke sungai. Fakta bahwa Surabaya adalah masyarakat sungai juga ingin mereka tampilkan. Pemanfaatan sungai kota dirasa belum merata. Bandingkan wajah Kalimas dan Kali Jagir. Meski sama-sama anak Kali Brantas, keduanya seperti anak kembar yang tidak identik. Kalimas yang mengarah ke utara penuh hiasan lampu warna-warni hingga punya wisata perahu. Sebaliknya, Kali Jagir yang mengarah ke timur masih menyisakan wajah problem kota. (Isam Firmansyah)