Wanita dalam Balutan Reformasi Arab Saudi

Jumat 05-08-2022,05:00 WIB
Reporter : M. Taufik Lamade

KECANTIKAN wanita Arab Saudi sudah terlihat. Sebagian di antara mereka sudah membuka penutup cadar.

Pangeran Muhammad bin Salman (MBS)-lah yang membuat negerinya berubah. Sejak memegang kendali kekuasaan, ia membuat aturan yang membuat negerinya berubah.

MBS naik takhta pada 2017. Pangkatnya putra mahkota, tapi faktanya ia seorang raja. Ia-lah yang memegang kendali sesungguhnya. Karena ayahnya, Raja Salman, sudah seperti simbolis.

Saat kedatangan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden, MBS-lah yang menemuinya untuk pembahasan bilateral. Sang ayah, Raja Salman, sejak 2020 sudah jarang terlihat di ruang publik.

Saya sendiri, selain tahun ini, juga mengunjungi Arab Saudi pada 2004 dan 2015. Pada 2015, saya kebetulan jalan-jalan di sekitar pertokoan Balad Corniche, Jeddah. Begitu terdengar azan salat Asar, semua toko langsung menghentikan kegiatan sejenak. Bisnis terhenti. Mereka semua menutup dagangannya walau transaksi di depan mata.

Saat ini, tahun ini, bisnis berjalan seperti di Indonesia. Saat saya menginap di Makkah dan beribadah di luar hotel, saat azan, bisnis tetap berjalan. Saat saya balik ke hotel, baru terlihat sebagian dari pelayan toko-toko itu beribadah di emperan tokonya. Tokonya memang tidak tutup. Mereka bergantian beribadah. Bergantian menjaga toko.

Mohsen, pemandu kami, menceritakan, sekarang sudah tidak lagi seperti dulu. Kalau dulu bisa ditangkap polisi syariah kalau tidak salat setelah azan, sekarang sih tidak.

Sementara itu, kini perempuan sudah aktif di berbagai bidang. Di sebagian besar hotel, mereka menjadi resepsionis. Mereka berjilbab, tapi tak bercadar. Suatu pemandangan yang dahulu tidak pernah terlihat.

                       WANITA ARAB SAUDI berprofesi resepsionis hotel. Sebelum MBS berkuasa, pekerjaan ini termasuk tabu bagi wanita.                                     -Foto:Taufik Lamade untuk Harian Disway-

Bahkan, di sejumlah mal besar seperti di Tower Clock Zamzam dan mal (kompleks Bin Dawood dan Carrefour) keduanya di depan Masjidilharam, saya melihat perempuan sebagai SPG parfum. Menawarkan dan memberikan sampel parfum kepada setiap pengunjung yang lewat.

Padahal, dahulu, jangankan bekerja di sektor publik, perempuan yang keluar rumah harus dengan mahramnyi. Harus didampingi. Juga bercadar. Yang terlihat hanya matanyi.

Saat saya keluar pukul 11 malam, menuju Masjid Tan’im tempat miqat umrah, di beberapa ruas jalan saya melihat perempuan sendirian. Entah jalan kaki atau menunggu di halte. Pemandangan itu jelas tak ada sebelum MBS berkuasa.

WANITA ARAB SAUDI juga sudah diberi kebebasan dalam berbisnis.    -Foto:Taufik Lamade untuk Harian Disway-

MBS lahir 31 Agustus 1985. Dilantik jadi putra mahkota (2017) di usia belia, 31 tahun. Usianya tentu sangat belia. Menggantikan Muhammad bin Nayef, masih keponakan Raja Salman. Keponakannya itu diganti dengan anaknya.

MBS membawa visi modernisasi. Setelah pelantikan, ia langsung melakukan gebrakan yang membuat sebagian publik Saudi bersimpati. Yakni, menangkap lebih dari 200 pangeran (tentu masih ada tali persaudaraan). Tuduhannya terkait korupsi. Para pangeran yang tentu kaya raya itu ditahan di hotel mewah Ritz Carlton.

Gebrakan tersebut di satu sisi menarik simpati publik. Namun, juga sinyal gertakan kepada tokoh-tokoh lain. Yang ditahan itu termasuk pengusaha terkemuka Pangeran Al Waleed bin Talal Al Saud. Alhasil, setelah dibebaskan, triliuner itu langsung menyatakan dukungan penuh kepada Putra Mahkota MBS. Mendukung reformasi politik, sosial, dan ekonomi.

MBS mulai mendapat perhatian dunia setelah memperbolehkan wanita menyopir sendiri, wanita boleh jadi tentara, dan wanita boleh nonton bola.

Warga kota metropolitan seperti Jeddah dan Riyadh bisa menonton konser. Perempuan juga bisa menikmati bioskop. Kelab malam pun diizinkan.

Yang paling viral tentu putusan membuka pantai untuk wanita. Boleh berbikini.

Langkah MBS itu langsung disambut para kaum muda dan milenial.

Revolusi gaya hidup yang dilakukan MBS bukannya tidak ada penentang. Ada ulama yang kokoh mempertahankan tradisi lama. Misalnya, Syekh Abdullah Basfar, qari ternama yang juga guru besar syariah Universitas King Abdul Aziz, Jeddah. Ia ditangkap karena secara terbuka menentang jalan reformasi oleh MBS. Penentang lain, Syekh Saud Al-Funaisan, juga dipenjara.

MBS jalan terus. Kini ia meluncurkan program Vision 2030. Program itu dibikin untuk mengurangi ketergantungan pada sektor minyak. Wisata digenjot. Ekspor nonmigas didorong. Investor asing diberi kemudahan.

Revolusi ekonomi ditandai dengan pembangunan lima megaproyek. Kelasnya super-megaproyek. Salah satunya Jeddah Central. Proyek ambisius itu senilai 20 miliar dolar AS. Setara Rp 300 triliun. Itu untuk dijadikan magnet wisata, menyaingi dubai.

Dan raksasanya raksasa proyek: proyek Neom. Kota teknologi yang bernilai 500 miliar dolar AS. Setara Rp 7.500 triliun. Pusat hiburan seluas 26.500 km persegi itu terletak di barat laut yang berbatasan dengan Mesir dan Jordania. Bandingkan dengan IKN yang membutuhkan Rp 500 triliun, tetapi pemerintah kita masih pontang-panting mencari dana.

Diprediksi, Neom memasukkan pendapatan 100 miliar dolar AS pada 2030. Ambisi Saudi untuk menenggelamkan spektakuler di sekitarnya seperti Dubai, Doha, Abu Dhabi, dan Manama, Bahrain.

Nantinya, Saudi tak hanya mengandalkan wisata religi haji dan umrah. Juga, akan menjadi pusat liburan para bule, Tiongkok, serta wisatawan seluruh dunia.

Namun, MBS hanya memberikan separuh kebebasan kepada warganya. Untuk kebebasan berpendapat atau bersuara nanti dulu. Buktinya, penentang langsung ditangkap.

Kematian Jamal Khashoggi, jurnalis yang mengkritiknya, masih misteri. Padahal, beberapa pihak menuding ada jejak MBS.

Oh ya, di negara monarki semacam Saudi, jangan harap ada demokrasi. (*)

Kategori :