Jokowi, sampai empat kali, berarti sudah parah. Jengkelnya. Atau upaya dorongannya.
Mau tidak mau, Menko Polhukam sebagai pembantu Jokowi pasti mengawal kasus itu. Menko Polhukam tidak mungkin diam. Apalagi, Mahfud profesor hukum. Unggulannya Jokowi.
Jadilah, Mahfud paling aktif bicara. Dalam rangka, mengawal kebijakan Jokowi.
Memang, tidak bisa diukur. Secara statistik. Apakah komentar-komentar Mahfud tentang kasus itu ikut mempercepat pengungkapan kasus? Atau tidak? Atau, seumpama Mahfud tidak bicara pun, kasus tersebut cepat terungkap? Tidak diukur. Tepatnya, tidak ada yang mengukur.
Tapi, kasus ini terbuka, blak. Diberitakan media massa secara konstan. Pemberitaan media massa menggiring opini publik. Membentuk kelompok. Opini publik, satu barisan, berada di belakang komentar Mahfud.
Walaupun ada juga deviasi, dengan penyebaran hoaks di medsos. Di semua isu pasti ada hoaks.
Akhirnya, Polri menyelesaikan kasus ini dengan gemilang. Adil. Kapolri dipuji Mahfud, dipuji masyarakat.
Kesuksesan Polri masih ditambah lagi, Polri tidak akan mengumumkan motif pembunuhan Yosua.
Sebab, kata Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto kepada pers, Kamis, 11 Agustus 2022: Kalau motif diumumkan, bisa berdampak memalukan keluarga dua pihak: Korban dan tersangka.
Agus: ”Maka, biarlah nanti motifnya diungkap di persidangan kasus ini.”
Suatu kebijakan yang bijak. Sebab, penyidik menimbang bahwa motif kasus ini terkait moralitas. Jelasnya: Seksual. Bagi masyarakat kita tidak enak diobral ke publik. Malu.
Mahfud sudah di jalur yang benar. Pihak DPR menangkis pun, wajar. Sudah sesuai budaya masyarakat kita. Yang ogah dipublikasi ”tidak bekerja”. Walaupun aslinya bisa beda. Tapi, ssst... jangan disiarkan. (*)