Tak lama-lama saya di sana. Perjalanan dilanjutkan dengan melewati jalur kuno selebar 1,5 hingga 3 meter. Cukup landai. Kata penduduk, dahulu para peziarah menggunakan kuda atau kereta kuda untuk meditasi serta membuat pemujaan di candi-candi sampai ke puncak Gunung Pawitra.
Jalur tersebut ditemukan tim ekspedisi Ubaya bersama seorang peneliti sejarah asal Inggris, Hadi Sidomulyo. Masih ada bekas kebakaran yang terlihat dari ranting dan rerumputan di jalan setapak tersebut.
Peneliti Inggris Hadi Sidomulyo berfoto bersama peserta pendakian jalur kuno Pawitra.-Yusuf Dwi/Harian Disway-
Sesuai dengan tajuk Festival Penanggungan 2022 Pawitra Pradaksinapatha, secara etimologi, artinya adalah mengelilingi Gunung Penanggungan searah jarum jam. Peserta pendakian memutari lereng itu sambil disuguhi pemandangan lumpur Lapindo dan Kota Surabaya dari kejauhan. Tak hanya itu, gunung dan bukit sekitar Penanggungan juga memanjakan mata.
Namun, keindahan itu tak boleh membuat para pendaki terlena. Salah seorang panitia juga mengingatkan agar jangan sampai kehilangan fokus.
”Walau jalan cukup landai dengan pemandangan seperti ini, harus tetap fokus dan tak boleh melamun, ya,” tegurnya. Jalan setapak yang ditutupi rerimbunan rumput sudah terlewati. Puncak Penanggungan terlihat jelas di atas kami. Sebelum ke sana, jalannya lebih terjal lagi. Pecahan batu dan tanah kering harus kami lewati dengan cukup hati-hati karena licin.
”Ayo, semangat! Dikit lagi sampai puncak!” teriak Surya Sindhu yang telah sampai di puncak untuk menyemangati peserta lain.
Akhirnya, kaki ini menapaki puncak Pawitra yang agung. Puncak itu masih berselimut kabut tipis dan embun. Surya Sindhu mengulurkan tangannya, memberikan salaman hangat.
”Selamat datang di Puncak Pawitra,” ucapnya yang membuat suasana menjadi haru. Sekali lagi. Ini puncak gunung pertama yang saya injak.
Wanala Unair berfoto bersama usai sampai di puncak Pawitra. -Yusuf Dwi/Harian Disway-
Sesampai di sana, para peserta pendakian mengabadikan momen tersebut. Beberapa peserta memandang Gunung Semeru sembari mengistirahatkan tubuh yang lelah. Mereka juga saling berbagi makanan dan air mineral. Puncak Pawitra yang dingin itu pun berubah menjadi kehangatan.
Tak lupa, sesi foto bersama dilakukan. Wajah bahagia terlihat dari para peserta pendakian. Rasa lelah dan letih selama perjalanan dibayar tuntas dengan megahnya puncak. Kami foto bersama dengan latar belakang bendera Merah Putih yang berkibar.
Tampaknya, kami merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia dua hari lebih awal. Tapi, tidak masalah. Di mana-mana suasananya sudah agustusan.
Dari perjalanan ini, saya akhirnya memahami. Peninggalan-peninggalan nenek moyang kita begitu hebat. Banyak nilai luhur yang harus dijaga untuk bekal menyusuri kehidupan saat ini.
Lega sekali rasanya. Sampai lupa, masih ada perjalanan berikutnya. Turun gunung! (Yusuf Dwi)