Napak Tilas Jalur Kuno Gunung Pawitra, Festival Penanggungan 2022: Merah Putih di Puncak Pawitra (5-Habis)

Rabu 24-08-2022,09:32 WIB
Reporter : Salman Muhiddin
Editor : Salman Muhiddin

Tenda terkoyak-koyak hujan dan angin kencang semalaman di Candi Guru. Saya cuma bisa tidur tiga jam. Itu pun kurang nyenyak. Hawa dingin sampai menusuk tulang. Sebelum mentari terbit, panitia sudah membangunkan kami. Semua rombongan menuju lokasi terakhir: Puncak Pawitra. Lewat jalur kuno.

_

Semalaman hujan disertai angin kencang mengoyak-oyak tenda para peserta festival 2022 di Candi Guru. Kejadian itulah yang membuat waktu istirahat saya terganggu. Rasa cemas dan waswas tak terelakkan. Sekali lagi, mohon kerendahan hati untuk memaklumi. Ini pengalaman mendaki pertama.

Banyak peserta tangguh. Mereka tetap bisa tidur di situasi seperti itu. Semua terbangun dan bergegas begitu panitia datang membangunkan dengan pengeras suara. ”Ayo, semuanya bangun. Saatnya kita naik ke puncak gunung!” teriaknya.

Saat itu, Senin, 15 Agustus 2022, waktu menunjukkan pukul 04.00. Langit masih gelap. Pendakian menaklukkan puncak Pawitra dimulai. Para peserta rombongan meninggalkan barang-barang dan tenda di Candi Guru. Mereka hanya membawa bekal air mineral dan roti yang dimasukkan ke tas kecil.

Dingin masih terasa menusuk tulang. Semua yang ikut naik ke puncak baris di pelataran candi. Doa khusyuk kembali kami panjatkan sebelum memulai perjalanan. Setelah itu, kami dipandu untuk berjalan meninggalkan Candi Guru oleh seorang penggiat jelajah situs Pawitra, Surya Sindhu Patih.

”Kita naik lewat belakang candi, ya,” ucapnya. Dengan membawa senter yang menerangi jalan itu, peserta pendakian mengikuti arahan Sindhu. Tanjakan pertama sudah disuguhkan dengan cukup terjal. Melewati bebatuan basah akibat hujan semalam. Kemiringannya sampai 70 derajat. Kami merangkak pelan-pelan. Mengantre.


Peserta pendakian mengambil napas di jalur menanjak menuju punca Pawitra.-Yusuf Dwi/Harian Disway-

Belum genap setengah jam, napas saya kembali terengah-engah. Makin tinggi tempatnya, makin tipis oksigennya. Belum lagi, tanjakannya yang terus merangsek ke atas, membuat saya kembali harus berhenti istirahat di tengah perjalanan. Telapak tangan sudah kaku. Seperti direndam air es.

Untungnya, saya tidak sendiri. Beberapa peserta juga kesulitan menapaki trek tersebut dan rehat sejenak bersama saya. Di situ, kami berbagi air mineral dan saling memberikan semangat.

Matahari pun mulai menampakkan sinarnya. Kini, puncak Bukit Bekel terlihat sejajar dengan para peserta yang berada di leher Penanggungan.


Salah satu pendaki, Surya Putra berjalan menuju puncak. Mentari sudah mulai tinggi.-Yusuf Dwi/Harian Disway-

Jalur kuno atau jalur utama pun belum tampak. Kami masih harus menanjak jalan setapak yang didominasi pecahan batu dan tanah padat. Sindhu yang menjadi pemandu itu sudah terbiasa dengan situasi tersebut. Penanggungan tidak ada apa-apa baginya. Ia sudah tak terlihat di depan bersama peserta lain yang bagi saya sangat tangguh.

Sementara itu, saya dan beberapa peserta yang di belakang berjalan pelan. Pendakian ke puncak ini memang menguras tenaga dua kali lipat. Kemudian, seorang panitia datang menyemangati kami dari belakang.

”Ayo, semangat, dikit lagi. Itu di depan sudah kelihatan jalur kunonya,” ucapnya sambil menunjuk ke arah atas. Jalan terjal sudah terlewati dengan kurun waktu setengah jam. Gua Botol pun menyambut kami. Peserta yang datang lebih dulu sudah beristirahat di sana.

Kategori :