SURABAYA, HARIAN DISWAY - Beberapa perupa di Jawa Timur konsisten menggunakan media cat air. Tantangannya yang tak mudah ditaklukkan justru membuat kesepuluh perupa ini menghasilkan karya yang mumpuni. Mereka pun pamer hasilnya dalam Tirto Wening, 2-9 Oktober.
Sekitar 40 karya menuangkan makna Tirto Wening. Dalam bahasa Indonesia tak lain ”air bening” atau ”air jernih”. ”Tajuk itu dipilih kurator kami, Agus Koecink. Bermakna tersirat dan tersurat. Pas banget,” ujar Pingky Ayako, peserta dan koordinator pameran.
Sesuai tajuknya, pameran di Galeri Prabangkara, Taman Budaya Jawa Timur (TBJT) yang digagas UPT TBJT itu memang digelar untuk mengapreasiasi karya dengan media cat air. Media yang sedang menantang sejumlah watercolorist Surabaya.
Karena itu, menurut Agus, Tirto Wening sangat berhubungan dengan media yang dimanfaatkan para pelukis yakni cat air. ”Jenis cat yang menggunakan air sebagai pembasah cat, kuas, dan sebagai sarana mencampur warna-warna,” katanya.
”Selain itu Tirto Wening merupakan sebuah konsep tentang perjalanan hidup manusia yang selalu diliputi tiga hal: cipta, rasa dan karsa. Maka manusia perlu ketenangan diri serta kejernihan dalam berpikir untuk mencapai tujuan hidupnya. Berikut pencapaian estetik dalam karya seni,” lanjut Agus.
Perupa Agus Koecink yang menjadi kurator Tirto Wening saat proses pembukaan.--
Dalam rupa-rupa ekspresi, keragaman karya dalam media cat air itu sangat menguat dari masing-masing perupa. Seperti Andaru Prijoko dengan tema-tema keluarga dan kemanusiaan atau Taufik Kamajaya dengan karakter wayang.
Juga perupa yang lain yaitu Pingki, Akhmad Ramadhan, Bung Tiok, Firnandy Sutikno, Pingki Ayako, RB Wiyanto, Sherly Ozora, Sherine Aprillia, dan Sigit Crueng.
Menurut semua perupa, media tersebut sangat meguji kesabaran. ”Sekali saputan kuas dengan warna tertentu, jika salah tak bisa ditumpuk dengan warna lain. Efeknya pun samar. Pencampuran warna pun tak selalu bisa dilakukan di atas media lukis. Pendeknya harus cermat dan hati-hati,” ujar Sherine.
Karya-karya itu sempat memukau Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur Sinarto dan Kepala UPT Taman Budaya Jawa Timur (TBJT) Samad Widodo yang hadir dalam pembukaan yang diramaikan pementasan musik akustik oleh Ringgo KPJ & Friends.
Di depan karya Sherine itulah, Sinarto sempat lama mengamati. Utamanya pada lukisan berjudul The Last of Us. Kata Sherine, lukisan itu dibuatnya saat menanggapi fenomena yang terjadi saat pandemi. Banyak orang meninggal, tak terselamatkan akibat Covid-19.
”Saat ini yang tersisa tinggal kita. Sekarang setelah pandemi, mari mulai menata hidup yang lebih baik. Melalui kesenian. Menggairahkan kembali dunia seni rupa adalah salah satu upaya untuk memberi warna pada kehidupan,” ungkapnya.
Dengan gaya yang mudah ditengara, Sigit masih bermain lansekap berbagai sudut Kota Surabaya. Seperti lukisan Balai Pemuda. Dalam lukisan itu ia mengguratkan warna dan menghasilkan gaya realisme yang cukup baik.
Sigit Crueng diapit dua karyanya yang berciri lansekap. Sebagian dia hasilkan dengan proses on the spot. --
Nuansa mendung di langit Balai Pemuda, seakan seperti disiram hujan. Sigit menorehkan bias pantulan air di lantai depan halaman gedung Balai Pemuda dalam karyanya. Bayangan sekelompok orang yang sedang berjalan, serta efek gelap terang mampu ia tampilkan dengan maksimal.
Perupa Andreanus Gunawan yang menyaksikan karya Sigit bersama perupa Virgorina Hendrianti yang karib disapa Hence itu sempat membahas salah satu karya Sigit berjudul Kalimati Tengah. Keduanya terpesona dengan gambaran suasana masyarakat di kawasan itu beserta hiruk-pikuknya.
Andreanus Gunawan, Sigit Crueng, dan Virgorina Hendrianti, membincangkan karya di Galeri Prabangkara.--
”Lukisan-lukisan ini sebagian saya buat ketika saya berkeliling, mengamati kota lama dan sekitarnya. Seperti Balai Pemuda, saya kerjakan secara on the spot,” ungkap Sigit menerangkan prosesnya kepada Andreanus dan Hence.