“Dari jumlah desa wisata tadi, ada satu kategori desa mandiri, 24 desa maju, 83 kategori berkembang dan 488 desa wisata rintisan. Kami berupaya agar desa-desa itu menjadi desa wisata mandiri,” ungkapnya.
Desa wisata yang masuk dalam kategori mandiri adalah dari wisata desa tersebut, dapat menghidupi dirinya sendiri. Bahkan, dari pariwisata itu, dapat menyumbang pendapatan asli daerah (PAD) yang cukup tinggi.
“Saat ini, baru desa di Bojonegoro yang dikatakan mandiri. Sebetulnya, desa wisata di Banyuwangi itu sudah ada yang masuk kategori desa mandiri. Bahkan, ada yang maju juga. Karena, desa tersebut sudah bisa membantu PAD,” bebernya.
Tumbuhnya desa wisata yang sangat pesat itu, akhirnya menambah pilihan wisnus yang ingin menghabiskan waktu senggang untuk berlibur. “Pada akhirnya, selalu ada hal baru yang dicoba. Jadi, wisnus ini tidak akan bosan,” katanya lagi.
Bahkan, dengan peraturan daerah (Perda) tentang desa wisata, yang diresmikan pada 12 Agustus 2022 lalu, semakin memperjelas peran dan kinerja desa. Termasuk, membantu pembiayaan dalam pengembangan desa tersebut.
Memang, menurut anggota komisi B DPRD Jatim Daniel Rohi, kendala pengelolaan desa wisata adalah keterbatasan dana. Perda ini, untuk mengatasi permasalahan tersebut. Karena, ini merupakan payung hukum agar desa wisata bisa mendapatkan bantuan dari pemerintah provinsi.
Selama ini, peran Pemprov Jatim sangat terbatas. Hanya memberikan bantuan promosi. Serta pembinaan sumber daya manusia (SDM). Sehingga, dengan adanya perda ini, pemerintah akhirnya mengalokasikan APBD untuk pengembangan desa wisata.
"Pemerintah kalau mengeluarkan bantuan harus ada payung hukum. Inilah payung hukumnya untuk itu," kata Daniel Rohi. (Michael Fredy Yacob)
Grafis Kunjungan Wisman di Jatim--