GRESIK, HARIAN DISWAY - Desa Kemuteran, Gresik, di pesisir laut pantai utara, masyarakatnya dikenal sebagai pengrajin songkok atau kopiah. Usaha tersebut mampu mengangkat perekonomian warga.
Beragam cara untuk meningkatkan perekonomian warga desa. Namun untuk mewujudkannya, rasanya susah. Seperti warga Desa Kemuteran, Gresik.
Desa tersebut terletak di pesisir pantai utara, Gresik, Jawa Timur. Desa kecil yang cukup padat, namun 85 persen penduduknya memiliki usaha membuat songkok atau kopiah atau peci. ”Mulanya kami coba mencari-cari usaha apa yang cocok. Kalau jualan ikan, warga desa sebelah sudah jualan,” ungkap Saiful Suyuti, salah seorang warga Desa Kemuteran.
Sebagian besar warga kampung pinggir pesisir, sebelah kampung Kemuteran bergerak di bidang usaha perikanan serta penjemuran ikan asin. Sedangkan desa lain yang tak jauh dari situ, bergerak di bidang pembuatan alat musik rebana. ”Maka kami putuskan, berdasarkan kesepakatan warga, untuk membuat songkok. Menjadikan desa kami sebagai desa pengrajin peci atau songkok,” ungkapnya.
Sebenarnya di Gresik ada desa khusus yang sebagian besar warganya memproduksi songkok. ”Ada di daerah Cerme. Tapi kan jauh. Tidak masalah jika kami bikin usaha yang sama di sini,” terangnya. Usaha tersebut telah dijalankan bertahun-tahun hingga Desa Kemuteran disebut sebagai Desa Songkok.
Peci merupakan penutup kepala untuk pria. Terbuat dari kain atau bahan lain dibentuk meruncing di kedua ujungnya. Sebutan lainnya, adalah kopiah atau songkok.
Sedangkan di belahan dunia lain seperi Eropa dan Amerika, menyebutnya kufi, taqiyat, topi fez, songkok, dan lain-lain.
”Meski ketiganya berfungsi sama, sebagai penutup kepala, masing-masing punya sejarah berbeda. Peci, misalnya, pada masa penjajahan Belanda disebut petje, yaitu, dari kata pet yang diberi imbuhan je,” ungkapnya. Paduan itulah yang menghasilkan kata petje. Lidah orang Jawa menyebutnya peci.
Sedangkan sebutan kopiah diadopsi dari bahasa Arab, kaffiyeh atau kufiya. Namun, wujud asli kaffiyeh sebenarnya berbeda dengan kopiah ala Nusantara. Lalu songkok dalam bahasa Inggis dikenal dengan sebutan skull cap atau batok kepala topi. ”Biasanya kolonial Inggris saat menjajah negara-negara Timur Tengah, memanggil orang bersongkok dengan sebutan skull cap,” terangnya.
Tiap warga pemroduksi songkok mampu menghasilkan 10 kodi songkok dalam waktu dua hari. Mula-mula mereka mengumpulkan bahan dasar berupa kertas karton. ”Rangkanya adalah karton basah. Kami melakukan pengukuran dan pembentukan awal,” ujar pria 55 tahun itu.
Kertas-kertas itu ditekuk dan dibentuk meruncing di kedua ujungnya. Kemudian dilakukan proses penjahitan pertama. Tujuannya agar kertas tersebut dapat rekat. Tak mudah terlepas atau memuai jika terkena panas.
Saiful Suyuti, salah seorang pengrajin songkok di Desa Kemuteran yang tengah bekerja membuat songkok sebagai usaha rumahan. Usaha tersebut telah dijalankan bertahun-tahun oleh warga desa sehingga desa tersebut dikenal sebagai Desa Songkok.--
Setelah proses itu selesai, Saiful dan para pengrajin mengambil kalep hitam atau penutup dari kain beludru hitam. Kain penutup itu dijahit untuk melapisi semua bagian kertas. ”Sudah begitu saja. Tapi meski sederhana, proses pembentukan dasar memakan waktu satu hari. Sedangkan proses pelapisan, membutuhkan sehari lagi. Jadi dua hari,” terangnya.
Untuk pemasaran, warga telah memiliki pembeli rutin di Jakarta dan Surabaya. ”Sudah ada yang meng-handle untuk urusan itu. Mereka yang memasarkan produk kami ke luar kota. Paling laris di dua kota itu,” ungkap Srihandayani, salah seorang pengrajin songkok.
Pihak pemerintah desa pun turut mendukung usaha warga Desa Kemuteran. Bahkan turut memoulerkannya lewat laman resmi kelurahan Kemuteran dan di berbagai media sosial. Mereka pun turut menggali pengetahuan tentang peci atau songkok. ”Salah seorang tokoh yang memopulerkannya ya Bung Karno, Presiden Indonesia pertama,” ungkap Suyuti.
Peci hitam yang selalu dipakai Bung Karno memiliki filosofi khusus. Tak lain karena peci merupakan simbol dari rakyat kecil saat itu. Peci adalah tutup kepala yang sering dipakai oleh kalangan rakyat, bukan oleh raja, petinggi atau bangsawan pada saat itu.