Polemik Beras Oplosan: Menakar Hak Informasi Konsumen

ILUSTRASI Polemik Beras Oplosan: Menakar Hak Informasi Konsumen.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
POLEMIK beras oplosan belakangan ini menyita perhatian publik. Romantisme Indonesia sebagai negara agraris menyebabkan isu tersebut begitu melekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia.
Realitas sosial budaya juga memperkuat sentimen itu. Bahkan, tidak asing kita dengar pemeo ”belum makan jika belum makan nasi”. Masyarakat Indonesia sangat bergantung dengan beras.
Itu berdasarkan fakta Indonesia sebagai negara terbesar keempat konsumsi beras secara global yang mencapai 35,3 juta metrik ton sepanjang tahun 2023 (BPS, 2024).
BACA JUGA:Ternyata Beras Oplosan Dilakukan di Sidoarjo
BACA JUGA:Prabowo Perintahkan Kapolri dan Jaksa Agung Usut Tuntas Beras Oplosan
Lantas, bagaimana relevansi isu beras oplosan terhadap hak konsumen?
John F. Kennedy mengemukakan, setidaknya ada empat hak dasar yang dimiliki konsumen, yaitu (Samsul, 2004): the right to safety; the right to choose; the right to be informed; dan the right to be heard.
Hak-hak tersebut diejahwantahkan lebih lanjut dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Pada dasarnya, Pasal 7 huruf d UUPK juga mengatur kewajiban pelaku usaha untuk menjamin mutu barang yang diproduksi dan diperdagangkan sesuai ketentuan standar mutu barang yang berlaku.
Secara hukum, istilah ”beras oplosan” sebenarnya tidak ditemukan dalam peraturan perundang-undangan. Kata ”oplos” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti mencampur atau campuran dan dalam kata kerja, ”mengoplos” berarti mencampur.
BACA JUGA:Prabowo Sebut Serakahnomics di Skandal Beras Oplosan
BACA JUGA:Skandal Beras Oplosan Rugikan Rakyat Triliunan, Satgas Pangan dan Pemprov Jatim Turun Tangan
Praktik mengoplos beras merujuk pada kegiatan mencampur beras dengan kualitas premium dengan kualitas medium, bahkan mungkin di bawahnya. Sekalipun istilah itu tidak didefinisikan dalam peraturan perundang-undangan, praktik pencampuran kualitas beras berlabel premium dan mutu beras kualitas rendah telah melanggar ketentuan standar mutu pangan.
Kerugian konsumen pun timbul karena harus membayar beras dengan harga premium, padahal memperoleh beras dengan mutu di bawahnya.
Meski demikian, fenomena ”beras oplosan” pada hakikatnya bukan sekadar kerugian ekonomis, melainkan juga pelanggaran fondasi utama penyelenggaraan asas keseimbangan dalam perlindungan konsumen berupa hak atas informasi bagi konsumen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: