Obat digunakan untuk pencegahan dan penyembuhan penyakit. Obat juga berfungsi untuk pemulihan dan peningkatan kesehatan bagi penggunanya. Namun obat juga ternyata dapat menimbulkan reaksi yang membahayakan.
Dampak yang tidak disengaja/tidak diharapkan inilah yang oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dikatakan sebagai reaksi adversi obat (adverse drug reaction/ADR). Sebagian besar masalah yang terjadi pada ADR sebenarnya dapat dicegah (preventable). Namun sebagian lainnya hampir tidak mungkin dicegah.
Kini perhatian dunia medis mengarah pada terjadinya kasus kematian 70 anak di Gambia. Diduga terkait beberapa produk farmasi yang terkandung dalam sirup obat batuk.
Komponen produk farmasi tersebut diduga mengandung ethylene glycol (EG) atau diethylene glycol (DEG) yang dapat memicu terjadinya gagal ginjal akut (GGA). India yang dijuluki sebagai ”apotek dunia” mengekspor beberapa macam obat batuk tersebut ke negara di kawasan Afrika Barat itu.
Kejadian memilukan di Gambia memantik kekhawatiran terjadinya persoalan yang sama di tanah air. Sebanyak 152 anak di 16 provinsi Indonesia dilaporkan mengalami GGA misterius. Belum diketahui dengan pasti apa penyebabnya. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI bersama dengan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sedang menginvestigasinya.
Di sisi lain, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bisa memastikan bahwa obat-obat produk negara Hindustan itu tidak terdaftar di Indonesia. Sebagai wujud kehati-hatian, BPOM telah melarang peredaran obat sirup untuk anak dan dewasa yang mengandung EG atau DEG.
Besar kemungkinan risiko toksik akibat senyawa organik di dalam obat batuk produksi India tersebut bukan sebagai penyebab GGA pada anak di tanah air. Namun demikian kewaspadaan semua pihak tetap sangat diperlukan.
Reaksi Adversi Obat
Lepas dari persoalan penyebab pasti GGA pada 152 anak di Indonesia, perlu dipahami oleh masyarakat tentang masalah ADR. Problem medis yang tidak diharapkan terjadi ini bisa timbul kapan saja dan pada siapa pun.
Secara teori semua komponen yang terkandung dalam obat mampu menimbulkan ADR. Walaupun demikian risiko kekerapan ADR hanya bisa terjadi pada obat-obat tertentu. Dampak klinisnya bisa ringan hingga berat bahkan dapat menjurus fatal.
Faktor penyebabnya sangat bervariasi. Dapat terkait dengan efek farmakologi obat-obatan tersebut secara langsung. Bisa juga melalui mekanisme biologi yang belum seluruhnya dapat dijelaskan dengan gamblang secara ilmiah.
Oleh karena itu tidak semua ADR dapat diprediksi.
Obat atau setiap komponen yang terkandung dalam obat bagaimanapun bisa memiliki dua sisi. Ada efek menguntungkan yang memang menjadi tujuan terapi. Namun sebaliknya dapat pula memicu terjadinya ADR. --
Dalam bidang medis, kejadian ini termasuk sesuatu hal yang ”ganjil”/”aneh” (bizzare reactions) dan dikategorikan sebagai idiosyncratik. Peristiwanya benar-benar terjadi di luar nalar dan prediksi (reaksi tipe B).
Sebaliknya timbulnya ADR pada reaksi tipe A masih bisa diprediksi. Efeknya sesuai dengan mekanisme farmakologi obat tersebut dan banyak terkait dengan dosis yang diberikan (“dose-dependent”).
Dalam beberapa kasus, terutama ADR yang tipe B, dapat memunculkan persoalan medikolegal. Letak masalahnya adalah pada sudut interpretasi yang mungkin bisa sangat berbeda, antara berbagai disiplin ilmu.