***
Mengabstraksikan percakapan kepala negara dengan seluruh komando kesatria Bhayangkara di Istana Negara yang penuh pesan moral dan nilai-nilai adiluhung. Ketika menengok sejarah, Langit Kresna Hariadi menceritakan dalam karyanya: Gajah Mada, Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara yang kaya akan perspektif (historis, sosiologis, dan antropologis).
Di situ diceritakan, pasukan keamanan Bhayangkara memiliki anggota dengan kemampuan tinggi dalam hal membidik sasaran. Kemampuan itu bahkan dikatakan hampir mustahil dimiliki orang biasa di luar Bhayangkara. Dalam analogi Hariadi, pasukan Bhayangkara bisa mendapatkan sasarannya walau hanya kakinya yang terlihat menyembul dari balik batang pohon.
Ada tiga senjata yang digunakan pendekar Bhayangkara dalam menjalankan tugasnya menjaga keamanan. Tiga senjata itu adalah anak panah, pisau terbang, dan pedang panjang.
Ketika berkuda, tergambar juga adanya formasi para pasukan tengah menaiki kuda. Pasukan Bhayangkara tidak menggunakan formasi yang sangat rapat, melainkan cukup berjarak. Mungkin itu salah satu bagian dari taktik tertentu. Atau simbologi bahwa Bhayangkara bukanlah pasukan perang, melainkan perlindungan marwah dan jubah kepala negara, kenyamanan kehidupan rakyat.
Adalah Kuti, dengan golongan Ra (baca: Ra Kuti), yang pernah melakukan pemberontakan yang dicatat sebagi salah satu peristiwa besar di Majapahit. Pemberantasan Ra Kuti menunjukkan peran Bhayangkara dalam melindungi kepala negara pada tahun 1319.
Kuti sendiri atau Ra Kuti merupakan anggota Dharmaputra yang dibentuk Raden Wijaya yang bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293–1309). Ayahanda Jayanegara sekaligus raja pertama dan pendiri Kerajaan Majapahit. Dharmaputra terdiri atas tujuh orang. Yaitu, Ra Kuti, Ra Semi, Ra Tanca, Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra Banyak, dan Ra Pangsa.
Dikutip dari Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakertagama (2006), Dharmaputra merupakan pejabat tinggi yang memiliki kedudukan khusus di Majapahit. Kitab Pararaton menyebut Dharmaputra sebagai ”pengalasan wineh suka” (pegawai istimewa yang disayangi raja).
Pemberontakan itu memiliki misi ingin mengudeta kepemimpinan Raja Jayanegara. Raja Majapahit, nyawanya pun terancam dan diancam.
Pasukan Bhayangkara mengamankan sang raja dengan cara melindunginya, berisiko hidup dan mati. Raja dibawa menjauh dari pusat pemerintahan di Trowulan, Mojokerto, ke Bedander, sebuah tempat pedalaman di area pegunungan kapur utara (saat ini pedalaman Bojonegoro, Jawa Timur).
***
Bhayangkara sebagai pasukan elite penjaga raja, atau sejenis Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) saat ini, berupaya menyelamatkan sang raja dengan cara membawanya menjauh dari pusat pemerintahan. Wilayah Bedander yang ada di pegunungan kapur utara menjadi tempat tujuan Bhayangkara untuk mengamankan Prabu Jayanegara.
Gajah Mada, bersama 14 pendekar lainnya, sangat penting untuk dicatat. Mereka menerapkan prinsip-prinsip penting dalam internalisasi nilai-nilai kesatria yang harus dimiliki seorang kesatria. Dalam hal kejadian ekstrem aksi Ra Kuti yang membahayakan negara, prabu, atau kepala pemerintahan, makin terlihat dalam menghadapi tantangan pemberontakan.
Gajah Mada teguh memegang prinsip bahwa hukum harus ditegakkan, siapa pun yang melanggar, harus menerima akibatnya. Meskipun, ia adalah temannya sendiri.
Kala ada anggota yang meninggalkan pasukan, dicari hingga ditemukan dan langsung dibunuh oleh Gajah Mada. Dianggap sebagai pengkhianat.
Kedisiplinan dan kesetiaan kepada negara selalu ditunjukkan Gajah Mada saat bertugas. Menurutnya, jika pengabdian tanpa nilai-nilai, seorang prajurit akan hilang ke-Bhayangkara-annya yang sejati.