Kamis, 29 September 2016, pada sidang, Masrukin mengatakan, Pasal 340 KUHP berangkat dari motif, niat, dan adanya perbuatan.
Masrukin: ”Untuk melihat unsur sengaja membunuh itu, bisa dilihat dari motif. Niatan untuk perbuatan membunuh, harus ada ’apa-apa’-nya (motif). Kalau tidak ada motif, tidak mungkin orang berbuat sesuatu.”
Maka, hakim harus bisa membuktikan, bahwa ada motif terdakwa untuk membunuh korban (waktu itu motif tidak bisa dibuktikan).
Saksi ahli lain, guru besar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Eddy O.S Hiariej menyatakan sebaliknya. Tidak perlu motif. Asal, bisa dibuktikan, bahwa ada perencanaan pembunuhan.
Eddy mengutip pendapat Prof Jan Remmelink, penulis hukum Belanda yang kita adopsi sebagai KUHP, sampai sekarang. Menurut Remmelink, khusus di Pasal 340 KUHP, penyidik atau hakim harus ”menempatkan motif pelaku sejauh mungkin, di luar perumusan delik”.
Artinya, motif tidak penting. Tidak dipakai pun tidak apa-apa. Yang penting, unsur perencanaan pembunuhan harus terbukti.
Remmelink adalah jaksa agung Dewan Tinggi Belanda 1968 hingga 1989. Ia mengepalai Komite Pemerintah Belanda tentang eutanasia yang merilis studi resmi pertama praktik eutanasia di Belanda pada 1991.
Syarat pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP), harus ada tiga unsur.
Pertama, pelaku ketika memutuskan kehendak untuk melakukan harus dalam keadaan tenang.
Kedua, ada tenggang waktu yang cukup antara memutuskan kehendak dan melaksanakan perbuatan.
Ketiga, pelaksanaan perbuatan dilakukan dalam keadaan tenang.
Cukup tiga unsur itu terpenuhi, terdakwa bisa dinyatakan terbukti melakukan pembunuhan berencana.
Eddy: ”Kalau ada ahli pidana yang mengatakan bahwa pembunuhan berencana harus ada motif, suruh ia baca ulang sejarah lahir KUHP Belanda.”
Akhirnya, 27 Oktober 2016, Jessica dinyatakan terbukti membunuh berencana. Meski motif tidak bisa dibuktikan. Dia divonis hukuman 20 tahun penjara.
Yang menarik, unsur pembunuhan berencana di nomor dua: ”Tenggang waktu yang cukup....” Seberapa cukup? Apakah lima menit dianggap cukup? Ataukah sepekan, sebulan, setahun?
A.Z. Abidin dan Andi Hamzah dalam buku mereka, Pengantar dalam Hukum Pidana Indonesia (2010), memaparkan.