SURABAYA, HARIAN DISWAY- BANYAK warisan peradilan yang tersemat. Mulai zaman penjajahan Belanda hingga saat ini. Seluruhnya tersusun dengan rapi di balik etalase kaca. Itulah pemandangan yang terlihat di Museum Landraad Surabaya.
Tak banyak yang tahu tentang museum tersebut. Hanya segelintir orang. Sepi, sunyi, tak ada pengunjung sama sekali. Hanya ada suara tukang yang sedang melakukan pembenahan. Tak ada orang yang menjaga secara khusus. Meskipun telah dibuka untuk umum, jalan untuk menuju museum itu tak bisa diakses pengunjung secara bebas.
”Jalan di sekitar museum tidak bisa dilewati untuk umum. Jadi, akses untuk umum sangat terbatas. Tak banyak orang yang dapat masuk dan melihat museum ini secara langsung. Selama ini hanya tamu dari pengadilan seperti Mahkamah Agung atau pengadilan tinggi yang datang melihat,” ujar Anak Agung Gede Agung Pranata, hakim sekaligus Humas PN Surabaya.
DOKUMEN pengadilan kasus Marsinah tanggal 6 Juni 1994, yang ada di Museum Landraad, Selasa 1 November 2022.-Miftakhul Rozaq-
Lokasinya berada di dalam kompleks Pengadilan Negeri Surabaya di Jalan Arjuno, salah satu cagar budaya Kota Surabaya. Tepatnya berada di belakang Ruang Kartika.
Bangunan itu telah ada sejak Pengadilan Negeri Surabaya dipimpin Joni. Menurut Agung, sekitar awal tahun 2021.
Ada dua pintu masuk yang mengarah ke museum itu. Pintu depan dan pintu belakang. Tepat di depannya, terdapat ruang Humas Pengadilan Negeri Surabaya. Bangunan tersebut berukuran sekitar 4 x 6 meter dengan tinggi lebih dari 2 meter.
AKTE kelahiran 1804 orang Eropa yang lahir di Hindia Belanda di Museum Landraad, Selasa 1 November 2022.-Miftakhul Rozaq-
Bukan sebuah bangunan yang memiliki pintu. Bangunan itu beralas keramik warna cokelat yang terlihat seperti kayu. Ditopang empat pilar kayu. Konsep yang digunakan adalah bangunan gazebo atau pondok terbuka. Meski sederhana, bangunan tersebut tetap terlihat keren. Pencahayaannya pun cukup lengkap dengan adanya lampu pada tiap etalase.
Walau hanya bangunan kecil, koleksi yang disajikan banyak. Pertama masuk, mata kita akan tertuju pada dua etalase kaca dan plakat bertulisan Museum Landraad Pengadilan Negeri Surabaya. Tak lupa dengan bendera Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) dan Pengadilan Negeri Surabaya. Total ada 4 etalase kaca utama dan 11 etalase kaca di belakangnya.
Kumpulan catatan lusuh dan usang. Kertasnya sudah berubah warna. Berbahasa Belanda. Menggunakan tulisan tangan. Terbungkus plastik agar tak lapuk termakan waktu. Sebagian tulisannya juga sudah tak terlihat dengan jelas. Ya, itu gambaran enam buku catatan akta kelahiran Eropa mulai tahun 1804, tahun 1828 nomor 1 sampai 3, hingga tahun 1924 di wilayah Surabaya. Catatan itu berasal dari Landraad, lembaga peradilan Hindia Belanda yang menjadi cikal bakal pengadilan negeri di Indonesia.
”Catatan itu adalah catatan kelahiran orang Eropa yang lahir di Indonesia pada tahun itu,” ujarnya.
Catatan tersebut tersimpan pada tiga etalase kaca utama. Dua di bagian barat dan satu di bagian timur.
Ia menambahkan, hanya itu dokumen yang dapat ditemukan saat ini. Sisanya masih dicari dan diidentifikasi tim yang bertugas.
”Sebagian dokumen belum ditemukan karena pada masa itu terdapat pengadilan negeri lain yang berlokasi di sekitar Tugu Pahlawan. Tetapi, bangunannya terkena bombardir pemerintah Jepang kala itu. Jadi, arsipnya belum ketemu,” ujarnya.
Selain catatan tersebut, ada berkas dua kasus besar yang dipajang di etalase utama bagian timur. Pertama, kasus Marsinah, aktivis dan buruh pabrik pada Orde Baru. Kedua, kasus penetapan ganti status kelamin Dorce Gamalama dari nama aslinya Ashadi. Tokoh publik dan transgender pertama yang terkenal di Indonesia.
”Dua kasus ini dipajang karena memang layak. Untuk kasus Marsinah, pasti orang-orang sudah tahu Marsinah sebagai aktivis saat Orde Baru,” ujar Agung.