PERBINCANGAN soal tragedi Itaewon, 29 Oktober 2022, masih belum habis. Insiden yang menewaskan 156 orang itu memunculkan diskusi anyar: soal etika masyarakat digital. Banyak yang menyayangkan mengapa video-video tragis kejadian tersebut bisa beredar bebas.
Tak pelak, video itu terus menerus menguarkan duka. Baik di kalangan pemerintah, aparat, terlebih keluarga korban. Seorang perawat yang tidak ingin diketahui namanya, sebut saja Choi, melihat video tragedi Itaewon di media sosial. Ia menontonnya pada hari kejadian tersebut.
Sebagai seorang pesawat, pasti ia sudah biasa melihat kedaruratan. Termasuk menyaksikan, bahkan mempraktikkan, CPR atau bantuan pernapasan dan jantung. Menurutnya, CPR adalah momen yang serius. Biasanya dilakukan dalam keadaan yang kondusif karena menyangkut nyawa orang.
FOTO DAN VIDEO yang diambil oleh warga yang melintas di Itaewon ini banyak yang bertebaran di media sosial, sesaat setelah tragedi.-ANTHONY WALLACE-AFP-
Tetapi, video yang beredar itu menunjukkan situasi yang membikin hati miris. Sangat teriris. Ratusan korban tergeletak di jalan. Para petugas, dibantu orang-orang, bersama-sama melakukan CPR. Sementara itu, masih banyak pengunjung lain terlihat tetap berpesta. Menari-nari di tengah irama musik yang sangat kencang.
“Saya merasa mual saat mengingat itu lagi,” kata Choi. Menurutnya, video seperti itu tidak boleh beredar bebas di platform online. Tidak pantas.
Menurut laporan Jang Kyung-Tae, dari oposisi utama Partai Demokrat Korea (DPK), ada lebih dari 100 permintaan untuk menghapus video dan gambar tragedi Itaewon. Dan laporan itu telah diajukan ke Komisi Standar Komunikasi Korea.
Video rekaman yang menunjukkan tragisnya festival itu membuat sebagian orang trauma melihatnya. Bahkan takut jika membayangkan suatu saat nanti akan mengalami hal serupa.
“Orang dewasa seperti saya bahkan merasa trauma melihat video yang berdurasi 10 detik itu. Sebagai tenaga pendidik, saya khawatir anak kecil akan melihatnya. Saya berharap semua video terkait tragedi itu dihapus peredarannya,” kata Kim, seorang guru SD di Seoul.
Sejak terjadinya insiden itu, platform media online dihujani gambar-gambar dan video korban. Tanpa filter. Tidak disensor. Ada yang langsung menunjukkan para korban terlentang tidak sadarkan diri. Bahkan tanpa pakaian.
Sehari setelah kejadian, tepatnya pada 30 Oktober 2022. Asosiasi Neuropsikiatri Korea mengeluarkan pernyataan yang berisi peringatan kepada masyarakat tentang gangguan psikologis akibat melihat unggahan tersebut.
Asosiasi itu juga mengatakan bahwa menonton video atau gambar seperti itu dapat memicu trauma, meskipun yang menonton tidak berada di lokasi kejadian. Menurut lembaga tersebut, orang tidak boleh menyaksikan video sejenis secara berlebihan. Bisa membahayakan kesehatan. Mereka juga menyarankan warga Korea untuk berhenti mengunggah video-video sejenis.
Penyebaran video tersebut juga dinilai bisa mencemarkan nama baik dan terus menerus melukai batin keluarga korban,
Beberapa platform online sudah mencegah dan mengontrol peredaran video tragedi itu. Misalnya yang dilakukan oleh YouTube dan Twitter. Dalam fitur pencariannya, YouTube telah menghapus beberapa video dan menaikkan batas usia yang disesuaikan dengan kebijakan konten di dalamnya. YouTube juga telah memberikan akses penayangan video hanya kepada saluran media yang valid.
Sementara itu, Twitter meminta penggunanya untuk melaporkan akun-akun yang mengunggah konten sensitif terkait tragedi. Berdasar aturan perusahaan, pengguna Twitter dapat menghapus konten-konten sensitif. Nantinya, akun pengguna yang dilaporkan dapat ditangguhkan permanen karena melanggar kebijakan konten.