Seandainya polisi memaksakan melakukan itu, publik bakal tahu bahwa polisi tidak profesional. Sebab, sudah tahu berkas bakal ditolak kejaksaan, mengapa dilakukan juga?
Begitulah kritik, saran, beda pendapat, friksi, debat, atau apa pun namanya terkait RKUHP. Tidak pernah selesai sejak niat pihak eksekutif dan legislatif merevisi KUHP pada 1963. Sampai sekarang.
Dikutip dari buku Ontwerp wetboek van strafrecht voor Nederlandsch-Indie Volume 1 (1911), disebutkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) produk Belanda. Berlaku di Belanda sejak 1886.
Ketika Belanda menjajah Nusantara, di Nusantara belum ada hukum formal. Hanya ada hukum adat. Berbeda-beda di tiap wilayah. Maka, Belanda membawa itu ke sini. Sebagian disesuaikan dengan kondisi masyarakat di sini.
Dinamakan Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) atau kemudian lazim disebut WvS. Diberlakukan di sini sejak 1918. Saat itu wilayah ini disebut Hindia Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, biar cepat, WvS diberlakukan di sini. Diganti nama jadi KUHP. Semua isinya tetap sama.
Sejak 1918 itu, sampai kini, seluruh isi KUHP tidak berubah.
Tahun 1963 digelar Seminar Hukum Nasional I. Intinya: ”Bikinlah KUHP nasional Indonesia yang baru. Dalam tempo sesingkat-singkatnya.”
Berbagai diskusi dilakukan. Antara pemerintah dan pakar hukum. Seru dan lama. Kata demi kata dipetani, diurai maksud dan tujuan. Debat sudah pasti. Karena ini negara merdeka. Hak berpendapat dijamin UUD 194.
Pada 1970 pemerintah mengumumkan akan merevisi KUHP. Dibentuk tim perancang, diketuai Prof Sudarto. Diperkuat beberapa guru besar hukum pidana lain se-Indonesia. Jadilah itu barang. Berbentuk RKUHP.
RKUHP diserahkan ke DPR. Lalu dibahas. Dalam tempo... sangat lama. Tidak menghasilkan sepakat.
Pada tempo itu disebut debat kusir. Debat tak berujung. Bagai kusir (sopir delman) dengan penumpang, ketika kuda kentut. Brut... Kusir bilang, ”Kudaku masuk angin.” Tapi, penumpang mendebat, ”Bukan... Itu keluar angin.” Sampai mereka bertengkar.
Pada 2004 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk tim revisi KUHP. Tim dipimpin Prof Muladi. Setelah disusun lama... tahun 2012 dibahas di DPR. Dibahas lama... tidak juga menghasilkan sepakat. Sebab, masyarakat menilai, rancangan KUHP membelenggu kebebasan sipil. Sampai presiden berganti ke Joko Widodo.
Jokowi menyerahkan itu ke DPR. Lantas disusun. Dirapatkan di DPR pada 2019. Tapi, lagi-lagi tak ada kata sepakat. Gegara masyarakat merasa, ada pasal-pasal yang mengarah ke rezim otoriter.
Mungkin, era otoriter Indonesia di zaman Orde Baru (Menko Polhukam Mahfud MD menegaskan: Orde Baru otoriter) masih membayangi benak masyarakat. Walaupun sesungguhnya generasi sudah berganti. Orang-orang era Orde Baru kini sudah pada tua. Tapi, generasi muda malah parno, paranoid banget.
Di 2019 Jokowi meminta soal revisi ditunda. Tidak ditentukan, sampai kapan.