Mereka adalah Tim Ekspedisi JawaDwipa. Beranggota 11 pemuda dari berbagai disiplin ilmu. Menelusuri jejak gempa bumi dan tsunami ke 10 daerah di Jawa Timur selama 21 hari.
--
GEMPA bumi dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah, sudah berlangsung empat tahun silam. Tercatat sebanyak 4.340 orang meninggal. Peristiwa kelam 2018 itu pun masih teringat kuat oleh Lien Sururoh.
“Kami melakukan ekspedisi Palu-Koro pascagempa,” ujar Ketua Divisi Riset Tim Ekspedisi JawaDwipa saat menggelar konferensi pers di Kopi Komunitas, Ngagel, Senin, 14 November 2022 itu.
Palu-Koro itu adalah suatu sistem zona patahan sesar mendatar besar aktif. Memanjang dari utara-barat laut ke selatan-tenggara di pulau Sulawesi. Dari ekspedisi itulah, Lien bersama tim menyusuri sesar tersebut.
Ternyata, tim ekspedisi justru menemukan pengetahuan lokal. Bahwa masyarakat sebetulnya punya kearifan mitigasi menghadapi gempa dan tsunami. Itu disaksikan mereka di kalangan Suku Kaili.
Suku Kaili memang menjadi mayoritas di Sulawesi Tengah. Khususnya di Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, dan Kota Palu. Yang tak lain merupakan tiga daerah terdampak parah gempa saat itu.
Masyarakat sudah mengenal legenda Tagari Lonjo atau “daerah tenggelam” di Balaroa, Palu. Bagi masyarakat setempat, terdapat larangan untuk berjalan melalui kawasan Lonjo itu.
Namun, larangan itu diabaikan justru dengan menjadikan kawasan itu sebagai permukiman (saat ini Perumnas Balaroa). Tagari Lonjo dianggap mitos belaka. Maka petaka 2018 pun tak dapat dihindari.
Padahal, Lonjo dikenal punya struktur tanah yang labil. Tanahnya tidak padat. Tidak cukup kuat menahan beban dari permukaan.
Saat terjadi gempa dan likuefaksi, tanah di kawasan itu pun ambrol. Apalagi pusat gempa berkekuatan 7,7 magnitudo itu berjarak hanya 80 kilometer barat daya Kota Palu. Kedalamannya pun cuma 10 kilometer.
“Lapisan atas tanah Lonjo memang nggak stabil. Itu benar-benar terjadi, tepatnya di Kelurahan Balaroa,” ujar sarjana kimia lulusan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu. Sejak saat itulah, Lien makin yakin bahwa setiap daerah rawan gempa dan tsunami sudah punya mitigasi. Yang langsung diwariskan oleh para leluhur terdahulu.
Bukti yang lebih kuat bisa ditinjau dari pola arsitektur rumah masyarakat setempat. Sebut saja, salah satunya rumah adat Saoraja. Rumah itu berbahan kayu dan bambu.
Fondasinya tidak langsung menempel tanah. Tetapi disangga oleh penyangga kayu. Seperti rumah panggung.
Atau ada juga rumah adat Lobo dan Tambi. Juga dari kayu dan bambu. Bahkan lebih simpel lantaran hanya berbentuk persegi. Berbeda dengan Saoraja yang memang rumah khusus bagi para bangsawan.