Sebelum mati, Eko dipaksa para pesilat menandatangani surat klarifikasi. Bahwa Eko bukan anggota perguruan silat X. Surat disusun para pesilat, kemudian diteken Eko. Suratnya kini di tangan polisi.
Iptu Aldhino: ”Dalam kondisi korban babak belur, korban kembali dikeroyok tujuh pelaku lainnya yang baru datang. Ini masih dari keterangan saksi. Jadi, kami masih melakukan penyelidikan. Tapi, kami akan buru semuanya.”
Penyidik belum memastikan, apakah Eko sudah tewas di pengeroyokan oleh tujuh pesilat kelompok pertama atau oleh tujuh pesilat kelompok kedua. Juga, belum dipastikan, apakah surat klarifikasi diteken Eko di pengeroyokan pertama atau tahap kedua. ”Masih kita sidik,” ujar Aldhino.
Para tersangka dijerat Pasal 170 KUHP tentang Pengeroyokan. Bukan pembunuhan.
Kapolres Gresik AKBP Nur Azis: ”Sekali lagi, ini bukan pembunuhan. Ini pengeroyokan yang mengakibatkan korban meninggal dunia. Jadi, yang kami terapkan Pasal 170 KUHP ayat (2) dan (3).”
Dari kronologi itu, jelas 14 pesilat sangat menghormati perguruan silat mereka. Disakralkan. Siapa pun mengaku-aku anggota perguruan silat itu dan terbukti bukan, sudah ada contohnya. Jadi, jangan macam-macam.
Itu solidaritas kelompok. Dalam melindungi kelompok. Dari potensi gangguan pihak luar kelompok. Pemakaian kaus perguruan silat X oleh Eko Bayu dianggap sebagai potensi gangguan terhadap kelompok.
Tapi, itu solidaritas kelompok membuta. Membabi buta. Dalam psikologi sosial disebut collective narcissism (narsisme kelompok). Yakni, perilaku individu yang melebih-lebihkan citra positif kelompoknya (perguruan silat X).
Bentuk tindakan pelaku collective narcissism disebut mobbing. Suatu perilaku kekerasan, mirip bullying tapi dengan level kekerasan lebih tinggi daripada bullying.
Janice Harper dalam bukunya, Mobbed!: What to Do When They Really Are Out to Get You? (Backdoor Press, 2013), menyebutkan, narsisme kelompok yang menimbulkan tindakan mobbing bersifat manusiawi. Setiap orang pasti merasa aman-nyaman berada di dalam kelompok. Lalu, membela kelompoknya mati-matian.
Harper (antropolog) mengurai, perilaku itu bawaan dari karakter burung. Sekelompok burung sejenis (katakanlah A) akan sangat marah ketika diganggu seekor burung jenis lain (B). Jangankan burung B menggunggu, pun asal ia berada di sekitar kelompok A, maka B bakal diusir kelompok A.
Tapi, paling jelas pada binatang primata, monyet. Seekor monyet hidung panjang jika berada di dekat kelompok monyet hidung pesek, si hidung panjang bakal diusir. Kalau perlu dikeroyok.
Karakter itu, menurut Harper, secara genetik sudah ada pada setiap manusia. ”Apakah karakter ini warisan dari hewan, atau sebaliknya, manusia mewariskan karakter ini kepada hewan. Masih perlu riset besar,” ungkapnya.
Dijelaskan, mobbing adalah bentuk dari agresi kelompok, bawaan dari primata. Bahwa pelaku mobbing tidak harus orang jahat atau psikopat. Melainkan, orang berperilaku baik, jika sudah masuk narsisme kelompok, ia bakal berperilaku sesuai kehendak kelompok.
Kehendak kelompok berarti ada pemimpinnya. Ada yang memberi komando. Untuk suatu tindakan yang sebenarnya bentuk tindakan sudah diduga para anggota kelompok. Yakni, menyerang individu atau kelompok luar (out group). Yang dinilai bisa mengganggu kelompok mereka (in group).
Bahayanya, begitu pengeroyokan dimulai, seperti halnya di dunia hewan, tidak bakal berhenti. Bahkan, intensitas pengeroyokan terus naik. Sampai targetnya mati. Apa pun terjadi.