Itu adalah kumpulan karya sastra dari penulis Tionghoa sejak akhir abad ke-19. Sampai akhirnya muncul Balai Pustaka, yang diklaim sebagai tonggak awal kesusastraan Indonesia. Padahal, sebelum Balai Pustaka lahir, sudah ada ribuan karya yang dihasilkan oleh pengarang Tionghoa. Mereka tidak dimasukkan sebagai pionir kesusastraan Indonesia. Salah satu alasannya, pengarang Tionghoa memakai bahasa Melayu pasar atau Melayu rendah. Berbeda dengan sastrawan Balai Pustaka yang menulis dengan bahasa Melayu tinggi.
KOLEKSI berharga tentang sejarah peranakan Tionghoa di museum Azmi. -FOTO: YULIAN IBRA-HARIAN DISWAY-
Meski begitu, karya-karya penulis Tionghoa itu juga progresif. Tengok saja Roema Sekola jang Saja Impiken. Penulisnya adalah Kwee Tek Hoay. Terbit pada 1 Desember 1925. Isi tulisan tersebut juga begitu maju. Sekali lagi, melampaui zaman.
Esai itu ditulis dengan gaya berkisah. Isinya adalah bayangan tentang sebuah sekolah ideal. Tempat para siswa tidak hanya mempelajari teori, tetapi juga praktik. Tidak cuma menghafal materi akademik, tetapi juga belajar tata krama. Guru-guru tidak hanya mengajar, tetap menjadi partner belajar. Betul-betul pemikiran yang lebih maju seabad daripada orang sezamannya.
Dalam perjalanannya, karya orang Tionghoa itu tidak hanya tidak diakui. Tetapi, warga Tionghoa pun hidup dalam tekanan. Terutama ketika zaman Orde Baru. ’’Orde Baru menyerap kebijakan Belanda itu. Itu gilanya Orde Baru,’’ ujar Azmi… (*)
*) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, dan Tira Mada
SERI BERIKUTNYA: Melawan dengan Informasi