Azmi Abubakar mencatat, represi yang dialami warga Tionghoa sudah ada sejak begitu lama. Sejak 1740. Ketika muncul peristiwa besar: Geger Pecinan. Peristiwa yang rentetan sejarahnya terasa hingga masa Orde Baru.
---
NAMA yang disematkan pada peristiwa 9-22 Oktober 1740 itu cukup mengerikan: Chinezenmoord. Artinya, pembantaian orang-orang Tionghoa. Tetapi, secara umum peristiwa itu disebut sebagai Geger Pecinan.
Kondisinya memang menggegerkan. Ada kerusuhan kecil-kecil yang dipicu oleh ketidakpuasan warga Tionghoa terhadap represi VOC. Kala itu, orang-orang Tionghoa yang dijadikan tukang dalam pembangunan Batavia meningkat pesat. Tak kurang dari 10 ribu orang Tionghoa mendiami Batavia. Di luar kota, masih ada ribuan orang Tionghoa lagi yang berdiam.
Situasi memang kacau-balau. Di kalangan warga Tionghoa sendiri ada orang-orang kaya yang kongkalikong dengan VOC. Mereka menikmati privilese yang diberikan oleh penjajah. Meskipun, mereka sejatinya juga menjadi ’’celengan berjalan’’ kaum VOC. Tionghoa miskin, kaum buruh, pekerja pabrik gula, kuli bangunan, juga diperas.
BACA JUGA: Koleksi Karya Pemikir yang Lampaui Zaman
Kerusuhan makin menjadi-jadi setelah 50 pasukan kompeni tewas. Kekerasan pun dibalas dengan kekerasan. Menjadi tak berujung.
Diperkirakan, lebih dari 10 ribu orang Tionghoa tewas. Yangju Yuan, rumah sakit khusus orang Tionghoa yang dibangun pada 1640 juga ikut hancur. Pasiennya dibantai tanpa memedulikan usia dan jenis kelamin.
Ratusan sampai ribuan lainnya selamat. Mereka lari ke daerah lain. Termasuk menuju timur, tempat mereka akhirnya berdiam dan beranak-pinak sampai sekarang.
KOLEKSI Kepustakaan milik Azmi Azis Abubakar di museumnya,-FOTO: YULIAN IBRA-HARIAN DISWAY-
Bagi kompeni, orang Tionghoa memang harus diwaspadai. Geger Pecinan ternyata tak membuat warga Tionghoa surut. Di banyak tempat, orang Tionghoa bahkan bersatu dengan tentara Jawa melawan kompeni. Kisah ini akan kami tuliskan dalam seri-seri berikutnya pada tulisan ini.
’’Orang Tionghoa itu punya sifat melawan,’’ kata Azmi Abubakar, pemilik Museum Pustaka Peranakan Tionghoa, Serpong, 14 Januari 2023.
Dan sifat itu tergambar dalam cerita-cerita silat yang akrab di warga Tionghoa. ’’Cerita silat itu ngajari orang melawan,’’ ucapnya. Yang dibangun dalam kisah-kisah persilatan itu memang khas. Betapa orang dengan segenap kekuatannya harus mau melawan kesewenang-wenangan. Meski berat, pada akhirnya kebenaranlah yang akan berjaya.
Yang jadi kekhawatiran Belanda, pada akhirnya, adalah pengaruh warga Tionghoa kepada khalayak umum. Sebab, orang Tionghoa menguasai bahasa Melayu. Inilah lingua franca, bahasa perantara, yang dimengerti oleh banyak orang dari berbagai kalangan.
Itu terbukti dari banyaknya karya sastra berbahasa Melayu yang dilahirkan oleh orang-orang Tionghoa pada abad ke-19 dan ke-20. ’’Ini juga saya koleksi,’’ kata Azmi. Yang ditunjuk adalah buku dengan punggung berwarna merah. Buku baru. Judulnya: Kesusastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia. Berjilid-jilid. ’’Komplet,’’ ujar lelaki kelahiran 3 Maret 1972 tersebut.