Series Jejak Naga Utara Jawa (3): Koleksi Karya Pemikir yang Lampaui Zaman
PENJELASAN dari Azmi Abubakar tentang koleksi Museum Pustaka Peranakan Tionghoa Indonesia, Sabtu, 14 Januari 2023.-Yulian Ibra-Harian Disway-
Warga Tionghoa meninggalkan warisan budaya yang begitu beragam. Bukan cuma kesenian atau makanan. Pada zamannya, di awal abad ke-20, kiprah mereka menjulur ke berbagai bidang. Termasuk bidang kepenulisan yang dihasilkan orang-orang berpikiran progresif. Melampaui zaman.
KOLEKSI langka itu akhirnya keluar juga dari areal belakang Museum Pustaka Peranakan Tionghoa. Azmi Abubakar yang membawanya sendiri.
Salah satu koleksi itu adalah sebentuk buku kecil. Judulnya, Indonesia dalem Api dan Bara. Penulisnya adalah Tjamboek Berdoeri.
Kitab itu memang tak bisa menyembunyikan kekunoannya. Warnanya cokelat penuh bercak. Kertas merang. Tak ada nama penerbit di situ. Tulisannya memakai ejaan lama. Selain judul, ada tulisan lain: Ditoelis sebagi peringatan oentoek anak-tjoetjoe saja.
’’Tapi, lihat ini,’’ kata Azmi sembari menuding salah satu bagian pada sampul buku tersebut. Ada jejak stempel di situ. Tulisannya, Tjontoh Ta’ Berharga.
’’Artinya, ini buku tidak dijual,’’ ucap lelaki kelahiran 3 Maret 1972 tersebut. Berarti, yang dimiliki Azmi adalah semacam buku konsep sebelum masuk ke percetakan? ’’Rasanya begitu,’’ kata lelaki berewokan itu.
Buku Indonesia dalem Api dan Bara karya Tjamboek Berdoeri.-Yulian Ibra-Harian Disway-
Buku Indonesia dalem Api dan Bara adalah sebuah kisah yang sangat dahsyat. Isinya ditulis dalam bahasa Melayu pasaran. Bahasa pergaulan umum pada zaman itu. Gaya berkisahnya asyik. Gaya jurnalis. Enak dibaca. Meskipun, yang diceritakan adalah sebuah kisah getir. Miris sekali.
Buku itu menuturkan suasana Surabaya dan Malang pada tahun 1940-an. Tjamboek Berdoeri memotret zaman gelisah yang membuncah pada zaman pendudukan Jepang. Termasuk kengerian saat pembantaian orang-orang Tionghoa di Mergosono pada Juli 1947. Kisahnya membangkitkan rasa kemanusiaan lantaran dituturkan dengan gaya jenaka, getir, ironis, dan satire.
Misalnya saat ia menulis gerombolan pelakunya sebagai Djamino dan Djoliteng. Ini adalah sebutan untuk para provokator—kebetulan warga pribumi—yang tiba-tiba berkuasa pascarevolusi.
Begitu dahsyatnya buku yang terbit pada 1947 itu. Sampai-sampai, Indonesianis asal AS, Bennedict Anderson menyelidiki kitab tersebut. Belakangan ketahuan bahwa penulis buku itu adalah Kwee Thiam Tjing. Jurnalis yang aktif berkarya hingga sekitar 1970-an.
BACA JUGA: Ekspedisi demi Hidden Gem
Di zaman kolonial, Kwee Thiam Tjing sudah sangat kritis. Ia menyebut orang pribumi sebagai Indonesier. Sebuah istilah yang sangat dilarang oleh penjajah. Tak heran, ia pernah disidang karena tuduhan melanggar delik pers. Tak tanggung-tanggung, Kwee Thiam Tjing dijerat dengan sembilan pasal pelanggaran. Sampai mendekam di Penjara Kalisosok, Surabaya, selama sepuluh bulan.
Soal jurnalis Tionghoa itu membawa Azmi pada koleksi selanjutnya. ’’Ini saya jamin tidak ada di tempat lain,’’ kata alumnus Institut Teknologi Indonesia, Tangerang Selatan, Banten, tersebut.
Tangannya menunjuk ke sebuah jilidan tebal. Sampulnya cokelat. ’’Tapi, saya bukakan, ya. Soalnya rapuh banget,’’ ucapnya kepada kami yang penasaran dengan buku tebal tersebut.
EDISI PERDANA Sin Po yang terbit pada 1910.-Doan Widhiandono-Harian Disway-
Ternyata, itu adalah sepuluh edisi pertama Sin Po. Saat sampul dibuka, tampaklah lembar bersejarah tersebut: edisi perdana Sin Po, 1 Oktober 1910. Kertasnya sudah begitu tipis dimakan zaman. Ujungnya tak lagi rata. Geripis.
Sin Po juga media yang melampaui zamannya. Meski diterbitkan oleh kalangan Tionghoa, media itu berbahasa Melayu. Sehingga, isinya bisa dibaca oleh semua kalangan.
Sikap progresif Sin Po juga tampak saat ia menjadi harian pertama yang memuat teks Indonesia Raya. Sin Po juga memandegani penggunaan kata Indonesia sebagai pengganti Hindia Belanda.
Penggunaan bahasa Melayu yang lebih dimengerti oleh masyarakat kebanyakan itu juga menjadi atensi Azmi. Ia menyebut bahwa serial Sam Kok yang legendaris itu kali pertama diterjemahkan ke bahasa Melayu di Indonesia. ’’Sebelum ada terjemahan bahasa Inggris, sudah ada terjemahan bahasa Melayunya,’’ kata pria asal Aceh tersebut.
Bagi Azmi, itu menunjukkan bahwa warga Tionghoa pada abad ke-20 sebenarnya punya peran besar dalam perjalanan sejarah Indonesia. Ada nilai patriotisme dalam kiprah mereka. Meskipun, dalam perjalanannya, warga Tionghoa pada akhirnya banyak mengalami represi. Juga diskriminasi.
Dan sumber diskriminasi itu sudah menjulur jauh sejak abad ke-18. Saat terjadi Geger Pecinan di Batavia… (*)
*) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, dan Tira Mada.
SERI BERIKUTNYA: Geger Pecinan sampai Orde Baru
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: