Bicara soal mereka yang mau bersusah payah melestarikan budaya, kita harus berkenalan dengan Udaya Halim. Seorang pria yang sangat mencintai Indonesia dan akar budayanya, Tionghoa. Sebagai bukti, ia mendirikan Museum Benteng Heritage di Tangerang.
SEJAK mempersiapkan ekspedisi Jejak Naga Utara Jawa, kami sudah sangat tertarik dengan daerah Cina Benteng di Tangerang. Sebuah kawasan yang disebut-sebut sebagai salah satu penjaga aset budaya peranakan terbesar. Katanya, di sana, tata cara pernikahannya yang memadukan unsur Tionghoa dan Betawi pun masih dilestarikan. Yang bahkan di Tiongkok sana tidak ada.
Maka, Sabtu siang, 14 Januari 2023, tim ekspedisi mendatangi kawasan tersebut. Lokasinya di Pasar Lama Tangerang. Tak jauh dari stasiun kereta. Sepekan menjelang Imlek, pasar itu sangat ramai. Kios-kios menjual pernik-pernik Imlek. Mulai buah-buahan sampai kue tradisional. Juga dekorasi rumah. Sedangkan toko-toko baju menggantung ceongsam merah bermacam ukuran.
Kami menjelajahi gang-gang kumuh di samping pasar. Demi mencari Museum Benteng Heritage. Atau yang oleh warga setempat disebut Museum Cina Benteng. Dan di antara kios-kios yang dagangannya meluber memenuhi separo jalan itu, museum itu luput dari pandangan.
BACA JUGA : Pelajaran dan Guyonan Lewat TikTok
BACA JUGA : Lima Tahun Lebih Sulap Rumah Merah
Kalau Anda mengira museum itu menempati kompleks khusus yang berhalaman luas, dengan bangunan megah dan papan nama mewah, jelas museum itu akan terlewatkan.
Sebab, bangunannya terlihat seperti rumah biasa. Dengan pagar besi setinggi semeter, dan sebuah teras sempit. Separo teras bahkan tertutup pintu kayu berpanel yang dicat hitam. Siang itu, sebuah mobil boks terparkir di depan pintu kayu tersebut. Wajar kan, kalau kami tidak ngeh.
Sepetak prasasti di dinding bertulisan ’’Benteng Heritage, The Pearl of Tangerang,’’ membuktikan bahwa itu bukan rumah biasa. Nama Udaya Halim, sang founder, terukir di sana.
Setelah melewati pintu kayu tua yang dijaga sepasang Kilin, kami tiba di semacam lobi. Ada beberapa set meja kursi dari kayu jati yang dipelitur mengkilap. Lantainya terakota. Sementara dindingnya dipenuhi foto-foto Batavia—terutama kawasan Benteng—zaman dulu, pepatah Tiongkok, piagam penghargaan, dan papan informasi. Rupanya, itu ruang tunggu.
Di dinding yang memisahkan lobi dengan ruang belakang, terdapat jendela kecil berbentuk persegi panjang. Berfungsi sebagai loket tiket sekaligus informasi. Tiket masuk Rp 20 ribu per orang. Sudah lengkap dengan jasa guide. ’’Koleksi ada di lantai dua. Silakan masuk lewat pintu samping. Tapi lepas sepatu dulu sebelum naik tangga,’’ kata seorang pria di balik loket.
LOBI SEDERHANA namun ditata artistik menyambut pengunjung museum.-Udaya Halim untuk Harian Disway-