Series Jejak Naga Utara Jawa (30) : Lima Tahun Lebih Sulap Rumah Merah

Series Jejak Naga Utara Jawa (30) : Lima Tahun Lebih Sulap Rumah Merah

Keelokan wajah depan Rumah Merah Heritage Lasem.-Retna Christa-Harian Disway-

Tiongkok Kecil Heritage menjadi salah satu tempat menginap paling populer di Lasem. Sang owner, Rudy Hartono, butuh empat tahun lebih untuk mengubah tiga rumah lawas menjadi kompleks penginapan berkonsep one stop service.
RUDY Hartono menjamu tim Jejak Naga Utara Jawa di halaman salah satu bangunan di kompleks Rumah Merah Lasem. Tepatnya di bangunan tengah. Diapit dua rumah kuno yang dijadikan penginapan. Area itu difungsikan sebagai depot. Terdapat set meja kursi kayu yang nyaman buat nongkrong. Sedangkan halaman paving-nya difungsikan sebagai tempat parkir tamu. 
 
Ada kompor gas portabel di atas meja. Pertanda bahwa depot itu menyediakan menu barbecue atau hot pot. Rudy meminta salah seorang pegawai memindahkannya. Sebagai ganti, ia minta si pegawai membawakan set perlengkapan minum teh. Kemudian, ia menceritakan perjalanannya mendandani Tiongkok Kecil Heritage Lasem. Atau yang lebih populer disebut Rumah Merah. 
 
Dari ceritanya, kami mendapatkan fakta. Bahwa Rumah Merah ini punya kaitan dengan gedung Candra Naya di Glodok, Jakarta. Yang kisahnya kami muat pada 15 dan 16 Februari lalu. Lho, kok bisa? 
 
’’Ya, saya ini kan pengusaha elektronik. Hape, aksesori, dan sembarang macem. Nah, seringnya tidur di daerah Glodok. Kebetulan, waktu itu Candra Naya sedang direnovasi,’’ Rudy menerangkan. ’’Itu sekitar 2010,’’ tambahnya.
 
 
Rudy penasaran dengan gedung yang terletak di tengah-tengah kungkungan gedung bertingkat tersebut. Sebab, selama renovasi, areanya ditutup galvalum. Tapi, dipasangi dua lampion besar yang menyala terang saat malam. ’’Begitu sudah jadi, dibuka, saya masuk. Wah, kagum saya. Kok bagus sekali,’’ kenangnya.
 
Dari situ, Rudy terinspirasi untuk membuat bangunan serupa. Tapi di Lasem, kampung halamannya. Ia tahu betul, di kota kecamatan bekas ibu kota Kabupaten Rembang itu banyak rumah lawas. Ia bertekad mempercantiknya. 
 
Mulailah Rudy berburu rumah. Namun, mencari rumah itu—katanya—seperti mencari jodoh. Enggak mudah. Ada yang menawarkan, tapi tidak deal. Ada yang ia minati, tapi tak dijual. Begitu terus. Sampai akhirnya, pada Desember 2012, Rudy mendapatkan rumah di Jalan Karangturi 4. Satu rumah saja. Tapi luas. Rudy mulai membenahi rumah itu. 
 
 
Pada Oktober 2013, digelarlah Festival Lasem. Jalan Karangturi 4 dipasangi lampion-lampion cantik. Ganjar Pranowo, yang baru dua bulan menjabat sebagai gubernur Jawa Tengah, datang berkunjung. Rudy menceritakan rencananya merestorasi rumah kuno seperti Candra Naya. ’’Habis dikunjungi Pak Ganjar, makin semangat lah benah-benahnya,’’ jelas Rudy, lantas tertawa.  
 
Selagi ngobrol, pegawai datang membawakan satu set perlengkapan minum teh. Terdiri dari teapot (teko), lima cangkir mungil tanpa kuping, lengkap dengan tray atau nampan kayu berbentuk balok tipis. Kami mengenalinya sebagai tata cara kung fu tea. Daun tehnya dicuci dulu. Kemudian dicicip, dihirup aromanya, baru disajikan. 
 
Rudy menuangkan teh hitam ke cangkir-cangkir kami. ’’Enak lagi sama makan yopia ini,’’ celetuk kami jail. Eh, Rudy langsung menangkap ’’kode’’ itu. Ia membawakan sekotak yopia sebagai teman minum teh.  
 

Rudy Hartono (tengah) berbincang dengan tim ekspedisi Jejak Naga Utara Jawa sembari minum teh dan mengudap yopia.-Yulian Ibra-Harian Disway-
 
Pembenahan yang dilakukan Rudy cukup besar. Sebab, rumah yang ia beli benar-benar kuno. Dan tak terawat. Tak ada yang tahu pasti kapan dibangun. Kalau dari catatan sejarah, hanya disebut bahwa kawasan Karangturi berkembang pada awal abad 19. Jadi, mestinya, rumah itu juga dibangun pada 1800-an. 
 
’’Ya jelek gitu kondisinya. Cat-cat mengelupas. Baik tembok maupun pintu-pintunya. Lantainya tanah. Nggak layak, lah, ditinggali,’’ kata Rudy. 
 
Maka, rumah direnovasi total. Meski ia tak mengubah struktur asli bangunan. Dinding diperbaiki. Lantainya dipasangi tegel terakota. Agar nuansa lawas tetap terasa. Cat-cat pintu yang sudah bocel-bocel dikerok. Lalu dipelitur ulang dengan warna cokelat gelap. ’’Mulai bangun-bangun lagi. Tapi ya pelan-pelan. Karena nggak punya background di bidang itu,’’ jelasnya.  
 
Pada 2014, sudah ada enam kamar yang siap dihuni. Ia memasang AC dan listrik. Sebab, rencananya ada museum yang akan berpameran di rumah itu. Tapi tidak jadi. Pembangunan berlanjut hingga 2015. Kebetulan, saat itu, Rudy kembali mendapatkan rumah. Juga di Karangturi 4. Berjarak satu rumah dari yang sudah ia miliki. Maka, sekalian saja rumah itu ikut direnovasi. 
 

Dinding depan Rumah Merah Heritage Lasem yang warnanya menyerupai dinding Istana Terlarang di Beijing.-Retna Christa-Harian Disway-
 
’’Waktu itu saya nonton TV. CTGN TV itu, lho. Yang punyanya Tiongkok. Di situ banyak liputan tentang Beijing. Khususnya Forbidden City. Tiananmen,’’ cerita Rudy. ’’Saya lihat, kok bagus ya kalau tembok luar rumah dibikin merah gitu. Ya sudah, akhirnya rumah saya cat merah. Karena suka aja,’’ tuturnya. 
 
Itulah awal mula kompleks penginapan Rudy disebut Rumah Merah… (*)
 
*) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, Tira Mada
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: