Series Jejak Naga Utara Jawa (27) : Jejak Nasionalisme di Candra Naya

Series Jejak Naga Utara Jawa (27) : Jejak Nasionalisme di Candra Naya

KOLAM IKAN di bagian belakang gedung Candra Naya, Glodok, Jakarta Barat.-TIRA MADA-HARIAN DISWAY-

Melestarikan Candra Naya, gedung bukan sekadar mengabadikan arsitektur istana crazy rich pada masanya. Ada nilai-nilai nasionalisme warga Tionghoa yang ikut menjadi abadi.
 
TAK salah jika kita membayangkan Candra Naya adalah sebuah mansion, istana milik orang kaya yang tidak semua orang boleh memasukinya.

Tidak pula keliru jika kita mengimajinasikan Candra Naya sebagai simbol orang-orang yang punya privilese (hak istimewa) dalam bisnis atau pemerintahan. Sebuah lambang kesenjangan yang begitu besar dengan orang-orang kebanyakan.

Tetapi, sejarah mencatat bahwa Candra Naya juga menjadi tempat berseminya bibit-bibit nasionalisme dan kemanusiaan di kalangan warga Tionghoa.

Melalui kanal YouTube-nya, Serangkai Tionghoa yang dipandegani oleh Ng Andre Hutama men-jlentreh-kan banyak hal tentang sejarah Candra Naya. Kepada tim ekspedisi Jejak Naga Utara Jawa yang mewawancarainya pada 15 Januari 2023, Andre bilang bahwa itu adalah upaya mereka untuk melestarikan warisan budaya masa silam. Agar tidak lenyap begitu saja tergerus masa.

Mereka mencatat sejarah panjang Candra Naya. Catatan itu pun tertulis pada sebuah gambar berpigura yang terletak di dinding depan gedung tersebut.
 

Sejarah bangunan itu tidak bisa dilepaskan dari Asosiasi Xinming. Atau Perhimpunan sosial Sin Ming Hui. Artinya, Perkumpulan Sinar Baru. Kelompok ini berdiri pada 1946. Itu sekitar setahun setelah Khouw Kim An, pemilik terakhir Candra Naya, meninggal di tahanan Jepang pada 1945.

Ya, akhir hidup Khouw Kim An, mayor Tionghoa terakhir di Batavia tersebut, cukup tragis. Betapa tidak, aristrokrat sekaligus birokrat di zaman Hindia Belanda itu lahir di kalangan keluarga berada. Khouw Kim An punya kakek (Khouw Thian Sek) dan ayah (Khouw Tjeng Tjoan) yang saudagar tajir. Tuan tanah. Merekalah yang diperkirakan membangun Candra Naya pada abad ke-19.

Karir Khouw Kim An pun moncer hingga akhirnya menjadi Majoor der Chinezen, opsir Belanda yang dipercaya mengurus kepentingan-kepentingan warga Tionghoa.

Nasib Khouw Kim An seketika redup setelah Jepang datang pada 1942. Sang mayor ditangkap dan ditawan di Cimahi sampai meninggal pada September 1945 dalam usia 70 tahun. Ia sempat ditawari pemerintah Belanda untuk mengungsi ke Australia saat Jepang masuk Indonesia. Tetapi, Khouw Kim An memilih bertahan bersama warga Indonesia lain di masa perang.

Setelah Indonesia merdeka, Candra Naya digunakan oleh Sin Ming Hui. Lembaga ini beranggota lebih dari 5 ribu orang. Tujuan awalnya adalah untuk membantu korban Kerusuhan Tangerang 1946.

Ketika itu memang baru saja terjadi kerusuhan rasial saat republik ini baru berdiri. Sekitar 700 warga Tionghoa Tangerang—yang kerap disebut Cina Benteng—terbunuh. Puluhan ribu lainnya mengungsi. Mereka inilah yang akhirnya dibantu oleh Sin Ming Hui.
 

Bagian belakang Candra Naya yang tampak asri.-Retna Christa-Harian Disway-

Pada 1964, Sin Ming Hui berubah nama. Menjadi Tjandra Naja. Mereka mengupayakan asimilasi warga Tionghoa secara total. Melalui pendidikan, kesehatan, kebudayaan, dan kegiatan rekreatif lainnya.

Hingga dekade 1990-an, Candra Naya masih kerap dipakai untuk banyak kegiatan. Selain menjadi kantor yayasan, sejumlah kegiatan olahraga juga digelar seluas 2.250 meter persegi itu.

Arus pembangunan sempat akan melenyapkan bangunan tua tersebut. Candra Naya sempat akan dibongkar. Dan replikanya akan dibangun di Taman Mini Indonesia Indah. Tetapi, banyak yang menolak. Mulai para pencinta sejarah hingga pemerintah. Akhirnya, Candra Naya pun dimasukkan sebagai bangunan cagar budaya melalui SK Gubernur DKI Jakarta 475/1993 yang diteken Gubernur Surjadi Sudirja.

Tjandra Naja (sebagaimana tulisan pada SK tersebut) adalah salah satu dari 132 bangunan yang harus dilindungi di Jakarta. Dalam SK itu, Candra Naya ada di urutan 30 dari 35 bangunan cagar budaya di Jakarta Barat.

Spirit itulah yang membuat kecantikan Candra Naya masih bisa dinikmati sampai saat ini. Meski yang tersisa sejatinya hanyalah bagian depan dari keseluruhan gedung itu sekitar seabad silam. Meski ia seperti berlindung pada gedung-gedung jangkung di sekelilingnya.

Tetapi, jejak Candra Naya masih bisa dirasakan. Kolam teratai di bagian belakang kini menjadi kolam ikan yang dikelilingi koridor dengan tiang kayu berukir.
 
Bagian sayapnya—yang dulu menjadi tempat tinggal para 12 istri Khouw Tjeng Tjoan—menjadi kedai penjual aneka makanan. Tentu, untuk memanjakan lidah pengunjung Candra Naya. Sebagian di antaranya menjadi toilet yang tetap mempertahankan pintu lingkaran khas Tionghoa. Asyik… (*)
 
*) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, Tira Mada
 
SERI BERIKUTNYA: Harus Bermalam di Masa Lalu

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: