Series Jejak Naga Utara Jawa (28) : Harus Bermalam di Masa Lalu

Series Jejak Naga Utara Jawa (28) : Harus Bermalam di Masa Lalu

Retna Christa, anggota tim ekspedisi Jejak Naga Utara Jawa, berpose di salah satu kamar di Rumah Merah Heritage Lasem.-TIRA MADA-HARIAN DISWAY-

Tidak ada satu pun di antara kami, tim ekspedisi Jejak Naga Utara Jawa, yang pernah menjejakkan kaki di Lasem. Tentu, kami mendengar betapa kondangnya kecamatan di Kabupaten Rembang itu sebagai Le petit Chinois. Tiongkok kecil.
 
KEBIMBANGAN itu sudah muncul sebelum kami memulai perjalanan panjang ini, pertengahan Januari 2023.

Di Lasem menginap di mana?

Pilihan awal adalah menginap di hotel jaringan. Ini sudah pasti hotel baru. Dengan layanan yang standar sesuai kategori bintangnya. Yang setidaknya isi dan servisnya sudah bisa terbayang sebelum memasuki hotel.

Tetapi, nanti kan tidak dapat nuansa pecinannya? Enggak dapet vibes-nya, kalau kata orang sekarang.

Selain itu, hotel-hotel anyar itu tidak ada di jantung Lasem yang akan kami kunjungi. Mereka ada di ibu kota Rembang yang jaraknya bisa sekitar 40-an menit dari Lasem. Bisa buang waktu. Apalagi, kami menyusun rencana untuk saban hari berjalan-jalan sejak pagi sekali. Ada banyak tempat yang ingin kami kunjungi. Ada banyak hal yang ingin kami liput.
 

Pilihan kedua adalah benar-benar menginap di episentrum pecinan Lasem. Di tempat yang benar-benar terasa Tiongkoknya, di bangunan yang betul-betul terasa kunonya.

Tetapi, gambar-gambar yang muncul di mesin pencari ternyata membuat kami grogi. Ada hotel dengan ranjang kuno yang komplet dengan kelambunya. Ada hotel yang kelihatan banget berasal dari rumah gede berusia nyaris dua abad. Ada perabot-perabot antik yang kentara betul kesan tuanya.

Jangan-jangan, kalau menginap di situ nanti, hiii

Kebimbangan itu bahkan belum menemukan ujungnya sampai saat kami harus meninggalkan Cirebon, 17 Januari 2023.

Dan diskusi soal tempat menginap itu baru benar-benar dikonkretkan sekira satu jam sebelum kami memasuki Lasem.

Akhirnya, yang kami pilih adalah Rumah Merah Heritage Lasem. Dari beberapa review yang kami baca, ini sebuah rumah kuno yang lantas dialihfungsikan menjadi hotel. Dan kekunoan itulah yang menjadi magnetnya. Komplet beserta aura masa silamnya.

Kami memasuki Lasem sekitar pukul 21.00. Jalanan sudah sepi. Banyak warung yang sudah tidak buka. Yang tersisa adalah kedai-kedai yang menempel pada toko yang tutup. 
 

Kamar di dalam Rumah Merah Heritage Lasem yang rapi dan klasik.-TIRA MADA-HARIAN DISWAY-

Suasana sepi itulah yang menyambut kami di Karangturi Gang 4, lokasi Rumah Merah. Suasana yang membuat kami—atau setidaknya beberapa di antara kami—makin grogi.

Karangturi Gang 4 yang membujur dari barat ke timur adalah sebuah jalan yang cukup rapi. Cukup nyeni pula. Jalannya di-paving dengan tetap menampakkan pintu drainase di kanan-kirinya. Tiang lampu retro berjajar di tepi jalan. Berpadu apik dengan ratusan lampion yang membentuk efek pseudo-ceiling. Langit-langit semu. Memberikan nuansa temaram yang sudah bikin kesengsem.

Sekira 20 meter dari ujung gang. Sudah terlihat tembok merah yang sangat panjang di sisi kanan, sebelah utara. Itu pasti Rumah Merah. Tepat sebelum tembok tersebut, ada dua poster sederhana berbahan akrilik. Semuanya menunjukkan prestasi Rumah Merah yang diraih pada 2021. Yang pertama adalah jawara Desa Wisata Award Kategori Budaya. Yang berikutnya adalah juara Event Promosi Pariwisata Kabupaten Rembang.

Yang bikin bimbang, tidak tampak aktivitas hotel yang seperti kami bayangkan. Seluruhnya tembok tinggi. Plus pagar metal yang juga berwarna merah. Setelah kami menelepon, barulah pagar besi itu terbuka…

Seorang petugas—anak muda—memandu kami memasuki areal parkir. Di sekelilingnya tampak seperti kantin yang tutup.

Malam itu, kami check-in pada sebuah meja kecil di sudut selatan kantin itu. Saat proses registrasi dilakukan, kami mengintip-ngintip sebuah lorong gelap yang menuju ke arah barat. Tak tampak apa pun. Hmmm… Di mana ya hotelnya?

Ternyata, dari meja resepsionis itu kami harus menyeberangi areal parkir, melewati gang kecil dengan pagar merah, ke arah timur.

Dan di situlah Rumah Merah menampakkan pesonanya.
 

Ia adalah rumah tua dengan pilar kokoh yang menopang atap terasnya. Di tengah teras itu ada pintu besar yang menuju dinding kayu dengan tiga patung dewa di atasnya. Seperti altar. Kamar yang kami tempati ada di depan altar itu. Di sisi kanan dan kirinya.

Pintunya terlihat sangat kuno. Tidak ada sistem kunci pintar di pintu itu. Yang ada adalah gembok.
 

Rudy Hartono, pemilik Rumah Merah Heritage Lasem, menunjukkan detail perabot.-TIRA MADA-HARIAN DISWAY-
 
Secuil perasaan grogi masih menyelimuti saat kami memasuki kamar tersebut. Perabot-perabot kuno menyambut kami. Termasuk sebentuk kaca rias kecil bergaya Tionghoa klasik. Dua rangkaian lampion bergantung di dua sudut kamar. Ketika dinyalakan, kamar itu menjadi kemerahan. Semakin terlihat klasik.

Malam itu, kami meriung di teras hingga lewat tengah malam. Untuk bekerja. Juga agar kami masuk kamar dalam keadaan mengantuk dan langsung tertidur. Tanpa harus ketip-ketip menunggu mata terpejam sambil berpikir macam-macam, hiii… (*)
 
*) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, Tira Mada
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: