Latar belakang Lehman itu dianggap publik sana lebih penting daripada gelar pendidikan Lehman: philosophy of doctor, science education, Purdue University (1979).
Mengapa anak dan remaja mengintimidasi teman? Jawabannya sederhana: Itu memecahkan masalah sosial mereka. Memecahkan problem pribadi mereka.
Dijabarkan, anak dan remaja lebih mudah menindas seseorang daripada menyelesaikan masalah sosial mereka. Masalah sosial mereka adalah menyangkut problem kehidupan mereka. Tentang bergaul, kebosanan, persaingan antaranak tentang berbagai hal, terutama sekali soal pengendalian emosi dalam menghadapi ketidakadilan hidup manusia.
Untuk mengatasi itu, dibutuhkan kepribadian kuat, disebut manajemen emosi atau koping. Nah… Mereka yang kesulitan untuk mengelola emosi mendapatkan jalan keluar dengan menindas anak lain. Umumnya, itu dilakukan berkelompok atau mengeroyok. Sebab, pelaku bullying tidak mampu mengelola emosi dan tidak percaya diri. Makanya, mengeroyok orang lain.
Pelaku bullying di masa anak dan remaja akan jadi pelaku domestic violence (Indonesia menyebutnya KDRT) setelah berkeluarga, kelak. Hal tersebut sudah otomatis jika pelaku tidak disekolahkan khusus untuk itu atau menjalani terapi psikologis.
Pelaku bullying di masa anak dan remaja tidak pernah belajar menjadi pasangan (suami-istri) atau orang tua yang efektif. Sebaliknya, mereka hanya pengganggu. Dan, orang lain dalam keluarga itu hidup dalam ketakutan. Takut dibentak, dipanggil secara kasar, atau dipukul.
Buku Lehman menggambarkan jalan pikiran pelaku bullying sejak anak sampai dewasa.
”Jika kamu melakukan apa yang saya katakan, maka akan ada kedamaian di sekitar sini. Tapi, jika tidak, rasakan sendiri balasanku.”
Jadi, seolah-olah orang lain di sekitar pelaku adalah orang yang bersalah. Sebab, semua pelaku bullying selalu mengatakan, sesuatu kesalahan pada dirinya adalah bukan salahnya, melainkan menyalahkan orang lain. Selalu mencari alasan, selalu mencari kambing hitam, meski dalam nuraninya ia tahu, bahwa itu kesalahan dirinya.
Lehman: ”Dan, jika Anda sebagai orang tua tidak mampu mengatasi amukan diri sendiri itu sejak dini, anak-anak Anda bakal mengembangkan masalah perilaku yang brutal, seiring bertambahnya usia.”
Intinya (seolah-olah) perilaku KDRT itu menurun. Diturunkan dari ortu ke anak. Padahal bukan. Ortu pelaku KDRT bakal ditiru anak-anak mereka. Sebab, anak dan remaja sulit mengelola emosi pribadi. Lebih gampang jadi pem-bully daripada menyelesaikan masalah pribadi.
Intinya, mem-bully atau menganiaya orang adalah jalan keluar bagi anak dan remaja agar keluar dari perasaan tertekan akibat berbagai problem hidup.
Pastinya, tidak semua anak dan remaja begitu. Cuma mereka yang dilahirkan dengan kepribadian kuat, atau terlatih kuat, atau dilatih khusus dalam terapi psikologi yang intensif, yang mampu mengatasi problem kehidupan.
Ngerinya, kata Prof Lehman, perilaku pem-bully tidak dimulai saat seseorang berusia remaja. Tetapi, dimulai saat anak berusia 5 atau 6 tahun. Bermula dari olok-olok teman. Kemudian, berlanjut makin brutal. Kelak jadi KDRT.
Indonesia tidak menyediakan terapi psikologis buat para pem-bully. Umumnya, terapi diberikan untuk para korban bullying. Malah terbalik. Hasilnya, pem-bully berkembang biak. Dari generasi ke generasi. (*)