SURABAYA, HARIAN DISWAY- Budaya adalah cermin bangsa. Itulah salah satu jalan pengabdian yang dilakukan lima finalis babinsa inspiratif Brawijaya Awards kategori pelestarian budaya. Sebenarnya ada 330 peserta yang dipilih dari ribuan babinsa di Jawa Timur.
Kelimanya adalah Pelda Sigit Setiono dari Kodim Magetan, Sertu Ali Mustofa dari Kodim Ngawi, Serda Nyaminanto dari Kodim Nganjuk, Sertu Lasa dari Kodim Trenggalek, dan Pelda Andik Risdianto dari Kodim Pasuruan.
Tutur kata Pelda Sigit Setiono, babinsa Barat, Kodim Magetan, malah lembut dan halus ketika berbicara. Dengan belangkon di kepala dan beskap, orang sekilas tak akan tahu bahwa sosok pria itu adalah seorang anggota TNI-AD. Ia dikenal pula sebagai seorang pembawa acara Jawa.
Pelda Sigit Setiono babinsa Kodim Magetan dengan wayang di tangannya.-Boy Slamet-
”Karena dengan menjadi MC, saya selalu menyampaikan pesan positif kepada masyarakat. Misalnya, masalah stunting atau problem-problem yang dekat dengan mereka,” ungkapnya.
Imbauan itu disampaikannya ke tengah-tengah publik saat bertugas sebagai MC. Membuatnya dapat ajur-ajer alias menyatu bersama masyarakat.
Sebenarnya, Sigit juga mampu mendalang. Diturunkan ayahnya. Namun, mitos yang menyebut dalang di timur Gunung Lawu itu tidak akan terkenal membuatnya menjatuhkan pilihan. ”Makanya, saya lebih fokus di bidang pranatacara Jawa saja. Tentu sambil nguri-uri budaya Jawa,” tuturnya.
Sosok yang nyaris sama juga terlihat dari Sertu Lasa, babinsa Karangan, Kodim Trenggalek. Suaranya lembut dan piawai bernyanyi lagu-lagu Jawa. Semangatnya dalam nguri-uri budaya sangat besar.
Ia juga membina dan menjadi ketua harian kelompok karawitan Bangunlaras. Yakni, kelompok yang terdiri atas beragam usia, sebagian besar malah masih berusia muda. Melalui upaya nguri-uri budaya itu, Lasa mampu membuat gairah berkesenian tradisi di lingkungannya bertugas menjadi lebih hidup.
Sertu Lasa Babinsa yang juga menjadi pembina campursari.-Boy Slamet-
”Di lingkungan Karangan ini, keseniannya paling lengkap. Ada empat jenis kesenian di berbagai desa yang aktif. Yaitu, karawitan, reog, jaranan, dan orkes dangdut,” ujarnya.
Baginya, seni tradisi harus dijaga betul. Sebab, kearifan lokal merupakan sarana komunikasi efektif untuk sesama warga. ”Sekaligus sebagai benteng dari derasnya arus budaya luar. Jika budaya luar itu cocok, bisa kami kolaborasikan. Tapi, jika bertentangan dengan kepribadian bangsa, harus dieliminasi,” ungkapnya.
Maka, di kelompok Bangunlaras, semua personelnya multitalenta. Mereka bisa memainkan nada karawitan, campursari, musik modern, bahkan semuanya mampu bermain kesenian jaranan. Upaya pembinaan intensif dari Lasa tak hanya pelestarian. Namun, ia berhasil membangkitkan ekonomi warga, terutama para pengrawit Bangunlaras.
Semangatnya sama dengan yang dilakukan Pelda Andik Risdianto, babinsa Desa Candiwates, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan. Peninggalan Candi Jawi yang ada di desanya membuat pengabdian di pelestarian budaya lebih sempurna. Oktober tahun lalu Andik menjadi babinsa di desa itu dan mendapati sedekah dusun. Berbagai kesenian ditampilkan. Ada kelompok tari dan gamelannya. Dimotori Taruna. Ada yang tua maupun yang masih usia sekolah.
Andik terpukau dengan penampilan mereka. Ia lantas banyak bertanya soal kelompok tersebut. Ternyata jawabannya tidak begitu enak. ”Kata warga desa waktu itu, kelompok kesenian ini angin-anginan. Yang senior sibuk dengan aktivitas masing-masing,” tutur Andik.
Dari situlah Andik punya ide mengajak anak-anak usia sekolah untuk memainkan gamelan dan tari. ”Bagaimana kalau kita bikin kaderisasi. Adik-adik kelas IV yang kita ajak,” usul Andik kepada para perangkat desa dan pemuka kelompok kesenian.
Kenapa anak SD? Pertama, sekolah SD relatif dekat dengan tempat tinggal. Kedua, kelas IV SD masih jauh dari ujian. Dengan begitu, waktu pengembangan bakat masih relatif panjang.