Shandra Jumpa ”Malaikat” Minim Kata: Human Trafficking dan Human Interest (2-Habis)

Jumat 02-06-2023,17:04 WIB
Oleh: Djono W. Oesman

Darurat human trafficking, seperti kata Menko Polhukam Mahfud MD, sulit dirasakan publik. Meski Mahfud mengungkap data sejak 2020 hingga kini korban tewas 1.900 orang atau rata-rata dua mati per hari, tetap saja sulit dibayangkan. Kisah Shandra Waworuntu memperjelas itu.

SEPERTI ditulis kemarin, Shandra –cantik, sarjana keuangan, serta mantan pegawai bank internasional di Jakarta bidang analis dan trader– terjebak jadi korban human trafficking

Dia pada 2001 lolos seleksi calon pegawai hotel di Chicago, Amerika Serikat (AS), lalu bayar USD 2.700 (kurs waktu itu sekitar Rp 30 juta) untuk aneka biaya berangkat ke Chicago. Namun, ternyata dia dijadikan pelacur di New York. 

Dia disekap di sebuah apartemen di Brooklyn, New York. Dia juga dinyatakan berutang USD 30.000 pada germo untuk aneka biaya yang sesungguhnya pemerasan. Penggantinya, dia harus jadi pelacur bertarif USD 100 per konsumen. Hasil melacur langsung dibayarkan konsumen ke germo. Fisik dan mental Shandra terpuruk habis.

Sehari-hari, Shandra diberi makan ala kadarnya. Tapi, minumnya bir. Tak diberi minuman lain. Dia pun selalu teler, siang-malam.

Shandra: ”Akhirnya, saya pikir saya tidak kuat lagi. Untuk melunasi utang, saya harus melayani 300 pria. Ini baru puluhan, saya tak kuat lagi. Sebelum utang itu lunas, 300 pria, mungkin saya sudah mati.”

Suatu hari dia berhasil lolos, loncat dari kamar mandi di lantai bawah. Dia berbekal nomor telepon orang. Nomornya diberi oleh sesama pelacur (wanita bule) di apartemen. Lalu, dia telepon orang itu dari telepon umum. Seorang pria.

Pria yang ditelepon bertanya titik lokasi Shandra. Shandra menyebutkan ancar-ancarnya. Benar. Pria itu datang bermobil, menjemput Shandra. Luar biasa… Sangat lega, Shandra merasa bebas.

Ternyata, oh… ternyata. Pria itu kaki tangan germo. Ia mengembalikan Shandra ke apartemen. Shandra malah disiksa karena melarikan diri. Dia heran pada pelacur pemberi nomor, kok tega menjebak begitu. Padahal, sesama bernasib hancur.

Shandra dijadikan pelacur tidak cuma di apartemen itu. Dia dan gadis-gadis lain kadang dibawa germo keliling, rumah bordil, gedung apartemen, hotel, dan kasino di Pantai Timur, AS. Lama-lama dia paham jalan di sana.

Di salah satu rumah bordil, Shandra lolos lagi. Caranya sama, lewat jendela kecil di toilet. Kali ini dia tidak menghubungi siapa pun. Dia langsung ke kantor polisi. Tanggapan polisi tampak ogah-ogahan. Shandra tetap semangat menceritakan kronologi. Bahkan, dia menunjukkan bukti-bukti. Foto apartemen Brooklyn, korek api berlogo hotel, rekaman suara bodyguard germo. 

Tapi, laporannya diabaikan. ”Saya jadi paham. Di sana pelacur dipandang sangat rendah, diabaikan polisi. Saya dianggapnya pelacur.”

Shandra lalu pakai jurus pemungkas. ”Saya datangi kantor Konjen RI di New York. Saya lapor. Tapi, laporan saya katanya diproses. Saya datangi lagi, dan lagi. Berkali-kali saya datangi, mereka selalu beralasan. Tanggapan mereka sinis ke saya. Di situ saya putus asa. Gelap dunia terasa.”

Akhirnya Shandra mengemis. Dia tidur meringkuk di pojok stasiun kereta bawah tanah New York. Mengemis di Times Square Garden. Di antara beberapa pengemis lain. Dia kerudungi kepala dengan jaket. Siapa tahu, germonya lewat. Atau kaki tangan germo. Bahaya. 

Receh demi receh berdenting di kaleng Shandra. Sangat jarang. Dia baru paham, orang New York sangat mengabaikan pengemis. Berjalan cepat, menghindar.

Kategori :