Menganut tata letak Tri Mandala yakni Nista Mandala, Madya Mandala, dan Utama Mandala. Satu Gerbang Supit Urang besar di depan menghadap selatan dengan dua gerbang kecil di timur dan barat.
Jujur, baru kali ini saya menyaksikan pura sebesar ini. Mandala Nista nya saja setara lapangan sepakbola. Mungkin lebih. Di tengah Nista Mandala ada Balai Wantilan berbentuk pendopo joglo besar. Di barat dekat jalan ada kantor pengurus Pura. Sementara di barat agak di belakang Wantilan ada dapur, mess, dan fasilitas bagi para pemelihara.
Di Mandala Nista ada beberapa balai pertemuan. Biasanya untuk pawiyatan dan pembelajaran agama hindu. Kemudian ada tempat tinggal para mangku dan pendeta di sebelah timur.
Membatasi Mandala Madya dan Utama, adalah gerbang Kori Agung berbentuk 3 Candi. Di dalam pelataran Mandala Utama, sebuah padma dengan tiga dewa trimurti yang dipuja; Siwa, Bhrama, dan Wisnu. Khusus yang bersthana di Siwa, adalah Sanghyang Pasopati, salah satu perwujudan Siwa.
“Oh wawancara ini?” kata Pak Mangku Ngatemin sambil buru-buru menyembunyikan sabitnya
“Dikira saya mau tawuran nanti,” kelakarnya.
Tak lama kemudian, datanglah Kapten Yudhi, Pasiter Kodim 0821 Lumajang. Lalu Pendeta Jandri Ginting, Pendeta Gereja Sola Gracia Senduro, Danramil Senduro Kapten Ony Ariyanto, Edy Sumianto dari Kandepag Lumajang, Teguh Widodo PHDI Lumajang, Ach Bisri Kepala KUA Senduro. Empat agama semuanya komplit hadir dalam sebuah perbicangan hangat di Balai Wantilan.
Meski ada di tengah-tengah pemukiman muslim, toh Pura Mandara Giri tidak kehilangan gaungnya. Setiap Nyepi dan Piodalan (Harlah Pura) tetap dibanjiri ratusan umat Hindu dari berbagai daerah. Para penduduk muslim pun jadi tuan rumah yang baik menyambut saudara sebangsa lain agama mereka.
“Bahkan mereka sering tanya. Pak kapan bikin ogoh-ogoh, anak-anak sudah nunggu,” tutur Serka Pribawono. Memang pawai ogoh-ogoh di Senduro terkenal meriah. Bahkan anak-anak muslim pun kadang ikut membuat dan mengarak sampai pura.
Meskipun perbincangan semakin asyik. Saya harus setop karena kami harus segera menuju Kota Lumajang untuk penjurian selanjutnya. Setelah beramah tamah dan berfoto bareng, sekitar pukul 10.00 WIB forum pun diakhiri. Pak Yusuf dan Fiu tiba-tiba menghilang.
Setelah saya cari muter-muter, ketemu di belakang pura sedang jongkok makan bakso. Saya pun menepun jidat. “Aduh, timku lupa gak tak kasih sarapan!” (*)
Perencanaan Adalah Kunci. Baca Edisi Besok