Jadi, mengapa melakukannya? Darcy menyebut empat hal sebagai penyebabnya.
1) Menyalahkan orang lain itu mudah. Berarti, mengurangi pekerjaan karena ketika kita menyalahkan, kita tidak harus dimintai pertanggungjawaban.
2) Menyalahkan membuat kita kuat. Di sini Darcy mengutip pendapat psikolog Amerika Serikat Prof Casandra Brene Brown, bahwa ini soal akuntabilitas.
Berdasar Kamus Besar Bahasa Indonesia, akuntabilitas adalah pertanggungjawaban atau keadaan yang dapat dimintai pertanggungjawaban.
Prof Brown: ”Orang yang suka menyalahkan orang lain untuk kesalahan sendiri jarang yang punya akuntabilitas.”
Karena orang itu merasa, bahwa punya akuntabilitas berarti ia merasa lemah. Sebaliknya, jika orang itu tidak punya atau minim akuntabilitas, ia merasa kuat.
3) Menyalahkan orang lain untuk kesalahahan sendiri, berarti orang itu pegang kendali. Sebaliknya, kalau tidak menyalahkan orang lain, berarti harus mendengarkan cerita dari sisi orang lain. Akibatnya tidak pegang kendali.
4) Menyalahkan orang lain, membongkar perasaan yang tertahan. Melemparkan kesalahan kepada orang lain bisa melepaskan rasa sakit emosional. Yang tertahan. Dalam bahasa Indonesia, itu disebut lega.
Eksepsi Johnny tidak persis masuk teori Darcy. Tidak klop. Tapi, berada di sekitar wilayah itu. Suatu strategi silat hukum yang cerdik.
Strategi cerdik itu ditanggapi enteng oleh Mahfud MD, doktor ilmu hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia penganut istilah ”gitu aja, kok repot” dari Gus Dur.
Persoalan lebih serius, kondisi politik Indonesia yang tidak sepenuhnya stabil sekarang, diketahui, dan dimanfaatkan banyak orang yang berkepentingan. Orang-orang berkepentingan itu tidak peduli, walaupun paham, bahwa politik yang stabil membuat petinggi negara lebih fokus membikin rakyat sejahtera.
Artinya, ”orang berkepentingan” tak peduli kesejahteraan rakyat. Mereka peduli diri sendiri. Sudah betul, menurut mereka. Rumitnya, mereka diikuti sebagian masyarakat. Kerumitan belit-membelit. Rumit-mit. (*)