Masyarakat Ambigu, Bela atau Hukum Penjahat

Kamis 13-07-2023,04:00 WIB
Oleh: Djono W. Oesman

Maka, persoalan jadi jelas. Bobby mendukung polisi menembak mati penjahat. Sebaliknya, KontraS mendesak Bobby agar mencabut dukungan itu. Masyarakat jadi ambigu. Terombang-ambing oleh pendapat tokoh masyarakat dan LSM KontraS itu. 

Kondisi ambigu itulah merasuki bangsa kita sekarang. Sangat dalam. Memandang kejahatan. Apalagi, kejahatan korupsi. Kejahatan yang membuat uang negara dicolong. Uang negara semestinya digunakan memakmurkan rakyat. Namun, dicolong. 

Contoh: mantan Ketua DPD Gerindra DKI Jakarta M. Taufik. Ia wakil ketua DPRD DKI selama dua periode, 2014–2019 dan 2019–2022. Padahal, Taufik korupsi pengadaan barang dan alat peraga Pemilu 2004 saat menjabat ketua KPU DKI Jakarta. Ia korupsi Rp 488 juta. Diusut, diadili, divonis hukuman penjara 18 bulan.

Setelah bebas penjara, ia diperbolehkan ikut Pileg DPRD DKI 2019. Menang. Terpilih lagi jadi anggota DPRD DKI Jakarta. Artinya, rakyat menghendaki ia jadi pejabat publik. Tidak peduli mantan narapidana korupsi.

Bahkan, Taufik menjabat wakil ketua DPRD DKI Jakarta, lagi. Taufik meninggal di Rumah Sakit Siloam, Jakarta Selatan, Rabu malam, 3 Mei 2023, karena kanker paru-paru.

Anas Urbaningrum, narapidana korupsi juga, selama delapan tahun. Bebas dari LP Sukamiskin, Bandung, Selasa siang, 11 April 2023. 

Anas kepada pers: ”Alhamdulillah… Hari ini saya bebas. Saya ingin sampaikan permohonan maaf kalau ada yang berpikir bahwa saya di tempat ini membusuk. Kalau ada yang berpikir saya menjadi bangkai fisik dan sosial di sini (penjara), mohon maaf, alhamdulillah itu tak terjadi.”

Tapi, itu belum bebas murni. Istilahnya cuti menjelang bebas (CMB) selama tiga bulan wajib lapor.

Anas terbukti korupsi di proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang. Ketika ia menjabat ketua umum Partai Demokrat pada 2012. 

Ia ”digigit” teman sesama Partai Demokrat, M. Nazarudin, yang juga korupsi di proyek pembangunan wisma atlet SEA Games di Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan, 2012.

”Gigitan” Nazarudin sangat tajam. Anas diselidik. Melalui penyelidikan sangat rumit. Lalu, ditetapkan sebagai tersangka Februari 2013. 

Pastinya Anas tidak mengaku. Ucapan Anas paling terkenal se-Indonesia saat itu: ”Kalau saya korupsi, gantung saya di Monas.”

Namun, Anas ditahan Januari 2014. Atau sebelas bulan setelah ditetapkan tersangka korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Ia diadili. 

September 2014, majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) menghukum Anas 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan. Hak politik (memilih dan dipilih) dicabut selama lima tahun, terhitung sejak bebas hukuman.

Anas naik banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Pada Februari 2015, majelis hakim banding memutuskan, mengurangi hukuman Anas setahun. Menjadi tujuh tahun penjara. 

Anas masih merasa kurang, ia mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). 

Kategori :