Setahun kematian Grace, seorang teman Hood menyarankan, sudah saatnya kamar Grace dibersihkan. Justru supaya tidak menimbulkan kenangan menyedihkan. Dalam hal ini, banyak orang menyarankan begitu. Termasuk banyak orang Indonesia berpendapat begitu.
Namun, apa reaksi Hood atas saran teman itu? ”Saya mengabaikannya.” Hood membiarkan bekas kamar Grace tetap berantakan seperti ketika Grace masih ada. Hood justru terus larut dalam duka.
Tiga tahun kematian Grace, di suatu pagi, Hood bangun tidur, lalu masuk ke bekas kamar Grace. Tahu-tahu dia memasukkan mainan Grace dalam keranjang sampah. Juga, barang-barang lainnya. Dia mengosongkan lemari dan membuang semua isinya.
Tersisa beberapa sepatu kecil dideretkan di atas lemari. Cuma itu yang tidak dibuang.
Hood: ”Saya tidak yakin, bagaimana saya berpindah dari satu titik ke titik lainnya. Secara begitu saja. Secara tiba-tiba. Dan, sekarang saya sudah kembali ke dunia.”
Kalau Rafael sudah bisa move on, belum tentu ayah David, Jonathan, kini lapang dada menerima tragedi itu. Sebab, posisi Rafael dan Jonathan berkebalikan. Antara keluarga pelaku dan korban. Sama-sama traumatis, kualitasnya beda.
Pastinya, Jonathan menunggu vonis hukuman untuk Mario. Sebagai salah satu pengobat luka hati. Walau, seumpama Mario dihukum mati, pun tak mungkin mengobati trauma Jonathan sekeluarga. Sebab, kondisi David sangat parah. Setidaknya sedikit mengobati.
Sekarang ”bola panas” ada pada hakim. Dalam mempertimbangkan rasa keadilan. Drama nyata ini sangat penting. Buat masyarakat dalam mendidik anak. (*)