HARIAN DISWAY– Kalau kita membeli kacamata, seringkali ada penawaran tambahan fitur. Yakni, pelindung cahaya biru (blue light protection). Katanya, kacamata itu cespleng, mujarab, untuk menangkal cahaya biru dari gadget. Tetapi, betulkah begitu?
Nah, ini ada fakta mengagetkan. Penelitian yang dimuat dalam Cochrane Database of Systematic Reviews mengatakan bahwa kacamata dengan pelindung cahaya biru itu ternyata tidak benar-benar melindungi.
Kacamata tersebut tidak membuat mata terhindar dari ketegangan otot karena layar komputer atau gadget. Juga tidak bisa meningkatkan kualitas tidur.
Memang, penelitian sebelumnya mengatakan bahwa pancaran cahaya biru dari gadget, televisi, dan layar komputer bisa merusak kulit dan mata.
BACA JUGA:Indonesia Bikin Grand Design Pembangunan untuk Afrika
BACA JUGA:Anggaran IKN dan Subsidi Dikritik, Pembahasan RUU APBN 2024 Lanjut Minggu Depan
Paparan cahaya biru bisa membuat kulit keriput, sakit kepala, mata kering, dan kurang tidur.
Padahal, di zaman sekarang ini, orang tidak bisa lepas dari layar gadget. Kehidupan begitu mobile. Hampir semua pekerjaan mengharuskan orang menatap layar gawai. Bahkan, di saat senggang pun, mata orang bisa ’’lengket’’ dengan monitor handphone.
Nyaris setiap saat, mata kita tidak dibatasi dan selalu terpapar cahaya biru.
Dalam era modern ini, manusia kerap tidak bisa lepas dari gadget yang bisa membuat mata tegang.-Boy Slamet-Harian Disway, Model: Shanty Olivia-
Lalu, bagaimana peran kacamata dengan pelindung cahaya biru itu? Benarkah melindungi?
’’Selama beberapa tahun terakhir ada perdebatan tentang manfaat kacamata pelindung itu,’’ ucap Prof Laura Downie, peneliti dari University of Melbourne, dalam rilisnya kepada media.
Lensa yang memiliki penangkal cahaya biru sering ditawarkan kepada para pengguna kacamata. Biasanya dengan iming-iming bahwa lensa tersebut bisa melindungi retina dari cahaya yang langsung masuk ke mata. Bisa mengurangi ketegangan mata.
BACA JUGA:Thavisin PM Baru, Thaksin Pulang
BACA JUGA:Sehari di Bui, Thaksin Darah Tinggi
Itulah yang kemudian diuji oleh tim dari University of Melbourne, University of London, dan Monash University. Mereka melakukan 17 pengujian secara acak.