SURABAYA, HARIAN DISWAY - Nusantara terdiri dari beragam suku budaya. Termasuk khasanah wastra. Dalam perkembangannya, seni wastra Nusantara semakin digemari.
Apalagi para pelestarinya bermunculan. Salah satunya adalah Komunitas Cinta Berkain Indonesia.
Berpusat di Jakarta, komunitas itu memiliki cabangnya pula di Surabaya. Dibentuk sejak tahun 2015 dan aktif hingga kini. Mereka menggiatkan pemakaian wastra Nusantara untuk bawahan.
BACA JUGA:Jamu Iboe Dorong Pelestarian Kebiasaan Minum Jamu di Acara Wastra-Rasa Nusantara
BACA JUGA:Club of Rotary Surabaya Gelar Jelajah Rasa-Wastra Nusantara
Tak sekadar wastra batik saja. Tapi berbagai jenis, seperti tenun ikat, songket, sulam Lampung, tenun NTT dan sebagainya.
Terkait aktivitas, mereka kerap mengadakan pertemuan, juga mengunjungi berbagai daerah di Indonesia, untuk meninjau sentra-sentra wastra sembari menambah wawasan.
Seperti tampak pada Rabu, 27 September 2023. Mereka bertemu sekaligus berlatih gamelan di ruang gamelan, Taman Budaya Jawa Timur.
"Kami tidak hanya bertemu untuk bercengkerama saja. Tapi juga berkegiatan positif seperti bermain gamelan, angklung dan lain-lain," ungkap Enny Handayani, wakil ketua 2 Komunitas Cinta Berkain chapter Surabaya.
Itu juga salah satu upaya mereka untuk menjaga kelestarian seni-budaya Jawa.
Kekhasan mereka, dalam setiap pertemuan maupun sedang berkegiatan, selalu mengenakan bawahan wastra Nusantara.
Komunitas tersebut memiliki ketentuan, bahwa setiap kain yang dikenakan tak boleh dijahit atau dipotong. Hanya dililitkan saja di pinggang.
"Sama seperti leluhur kita dulu. Kainnya dibebet atau dililitkan saja sebagai bawahan. Tidak dipotong atau dijahit," terangnya.
Kecuali, jika harus menyesuaikan ukuran. Kain tersebut bagian atasnya boleh dipasang karet atau resleting.
Tapi secara keseluruhan tidak boleh dijahit atau dipotong. Harus sesuai bentuk aslinya: kain utuh.
Enny menyebut, bahwa setiap ada pertemuan rutin, mereka selalu mengusung tema tertentu. Seperti misalnya pertemuan pertama, mereka mengusung tema batik Madura.
"Maka seluruh member yang datang dapat mengenakan batik Madura. Itu merupakan bentuk pelestarian kami, sekaligus menambah wawasan," terang Ninuk Ratih Herawati, ketua 1 komunitas itu.
Pun saat berlatih gamelan siang itu. Masing-masing mereka mengenakan bawahan berbagai motif.
Enny dengan batik khas Sidoarjo, Nunik dengan batik Madura serta Tina Swasdini dengan batik khas Cirebon, yang memiliki kekhasan motif-motif topeng.
Dalam latihan siang itu, mereka memainkan tembang-tembang Jawa. Salah satunya adalah Gugur Gunung.
"Latihan gamelan ini telah berlangsung sejak 5 tahun silam. Di bawah bimbingan pelatih kami, Pak Bambang Dwi Sumanto," terang Enny.
Hingga kini, komunitas itu beranggotakan 150 perempuan. Pada bulan Oktober, mereka berencana mengunjungi Pracima Tuin di Pura Mangkunegaran, Solo, sekaligus Kampung Batik Kauman.
"Di sana kami akan meninjau khasanah arsitektur Jawa khas keraton, sekaligus menilik Sentra Batik Kauman. Untuk menambah wawasan tentang motif khas mereka, sekaligus sejarah dan filosofinya," pungkas perempuan 61 tahun itu.
Sejak berdiri, berbagai kota telah mereka singgahi. Utamanya yang berkaitan dengan wastra Nusantara. Seperti Tuban, Lasem, Solo, Rembang, Kudus, Jember, Lumajang dan lain-lain. (*)