Profesionalisme, Humanisme, Kesejahteraan SDM Jurnalistik dan Kreator Konten

Jumat 06-10-2023,08:43 WIB
Oleh: Harliantara*

Juga, tingkat kesejahteraan yang terwujud dari upah yang semestinya melebihi standar upah minimum (UMK) yang diterima buruh.

Dalam konteks jurnalis melakukan peliputan bencana alam, peperangan, kecelakaan, serta kerusuhan sosial dan politik, naluri jurnalistik tidak bisa dicegah. 

Kondisi tersebut dalam domain profesi lazim disebut dengan istilah conundrum. Yaitu, suatu kondisi yang sedemikian kompleks sehingga sangat sulit untuk dicarikan solusinya.

Dalam diskursus etika dan profesi yang berkaitan dengan profesi jurnalistik, terdapat dua pendirian untuk menjelaskan situasi dilematis yang dihadapi SDM jurnalistik. 

Sebagaimana yang dikemukakan John C. Merril dalam bukunya yang berjudul Controversies in Media Ethics. Dua hal tersebut adalah, pertama, apa yang dinamakan sebagai pendirian profesional.

Pendirian itu menyatakan bahwa jurnalis harus mengutamakan kewajiban profesinya serta mengalahkan pertimbangan-pertimbangan lain yang dianggap menghambat dan menggugurkan profesionalitasnya, termasuk di dalamnya adalah pertimbangan yang bersifat manusiawi. 

Itu dengan alasan bahwa profesi merupakan pilihan tertinggi yang tidak boleh dikalahkan alasan apa pun.

Kedua, apa yang disebut sebagai pendirian kemanusiaan. Pendirian itu mengemukakan bahwa jurnalis sebaiknya lebih mempertimbangkan dampak atau konsekuensi yang muncul saat mencari berita maupun dampak pemberitaannya.

Sepenting apa pun kewajiban profesional itu dapat digugurkan dengan alasan kemanusiaan. Antara pendirian profesional yang bersifat absolut dan pendirian humanistik yang bercorak relativistik tampaknya sangat bertentangan.

Aspek profesionalisme seakan-akan mendorong jurnalis untuk mengeliminasi aspek humanisme. Sebaliknya, aspek humanisme dengan sendirinya memberikan peluang bagi jurnalis untuk bersikap permisif dan agar dimaklumi apabila dianggap menyalahi norma. 

 

Sekarang Era Platform, Bagaimana Posisi Tawar SDM Jurnalistik?

Sejak sepuluh tahun yang lalu dunia telah memasuki era platform, seperti yang digambarkan Phil Simon, penulis buku The Age of the Platform. Yang telah mengupas bagaimana Amazon, Apple, Facebook, dan Google telah mengubah bisnis sangat revolusioner. Termasuk bisnis media massa.

Kini siapa pun bisa membuat atau membangun platform lokal untuk bisnisnya. Platform lokal makin mudah dibuat dengan biaya yang relatif murah. 

Masalahnya, platform lokal sebagus apa pun sangat bergantung pada bobot dan kontinuitas konten. Premis ”content is the king” masih berlaku dan makin relevan. 

Ironisnya, banyak media di dalam negeri yang telah membangun platform lokal justru kurang menghargai hasil karya kreator konten anak negeri.

Kategori :