PASURUAN, HARIAN DISWAY - Dalam interaksi sehari-hari di antara warga Suku Tengger, terdapat berbagai kata yang asing.
Seperti tuturan orang Tegal, tapi bahasanya bahasa Jawa. Sesuatu yang dalam bahasa Jawa biasa dibunyikan "o", mereka membunyikannya dengan "a".
Seperti interaksi yang ditangkap ketika muda-mudi Suku Tengger yang sedang melakukan persiapan untuk gelaran Eksotika Bromo, pada 8 Oktober 2023.
BACA JUGA: Rayakan Tahun Baru, Warga Tengger Berlomba Bunyikan Musik Tradisi Menuju Gunung Bromo
BACA JUGA: Rayakan Kasada, Berikut Tahapan Warga Suku Tengger sebelum Tunaikan Yadnya Kasada
Mereka menggunakan bahasa Jawa. Namun, ada diksi atau kata yang berbeda ketika mengungkapkan sesuatu.
Salah satunya terdapat kata yang merepresentasikan ragam sosial jenis kelamin.
Hal itu terlihat dalam pemakaian kata ganti. Kata ganti orang pertama adalah reyang atau eyang dan isun.
Kata ganti reyang akan dipakai oleh pembicara laki-laki untuk menunjuk dirinya, baik sebagai subjek maupun sebagai kata ganti milik dengan bentuk eyang atau reyang.
Sedangkan kata isun akan dipakai oleh pembicara perempuan untuk menunjuk dirinya, maupun sebagai kata ganti milik.
Seperti ketika seorang pemuda Tengger bertanya pada kawannya, "Segane sesuk diterna reyang jam pira?".
Berbeda dengan bahasa Jawa, huruf "a" dibaca "o", jadi: Segone sesuk diterno jam piro. Pun, karena penutur adalah laki-laki, ia memakai kata ganti reyang.
Kalimat tersebut jika diterjemahkan: nasinya besok diantar jam berapa?. Jika penutur perempuan, maka dia menambahkan kata isun. Menjadi: Segane sesuk diterna isun jam pira?.
Afifa Prasetya, puteri dari Heri Lentho, konseptor Eksotika Bromo, telah terbiasa bertutur dengan bahasa Jawa Tengger.
Selain lama tinggal di kawasan Desa Kandangan, Tosari, dia pun banyak belajar memahami bahasa tersebut.
BACA JUGA:Membaca Kalender Jawa ala Suku Tengger
"Ada tingkatan kata untuk membedakan usia juga. Seperti kita memanggil yang lebih tua dengan sebutan rika. Sedangkan yang lebih muda dipanggil sira," ujarnya.
Namun, pemakaian rika dan sira semata-mata hanya menyangkut masalah leksikon saja.
Artinya, meskipun telah memakai kata rika, jika perbedaan usianya tak jauh atau dibilang sebaya, maka penutur tidak menggunakan bahasa jawa halus.
Kecuali jika lawan bicaranya terpaut usia yang cukup jauh. Dalam situasi tersebut, bahasa Tengger pun sama dengan bahasa Jawa yang penuturnya menggunakan bahasa "kromo alus".
"Bahasa Jawa Tengger dan bahasa Jawa sama cara penuturannya bila menggunakan kromo alus. Huruf 'o' tidak diganti 'a'. Sifatnya tetap," kata perempuan 22 tahun itu.
Masyarakat Tengger menyebut bahasa Jawa sebagai basa are atau bahasa luar. Artinya, bahasa yang lestari di luar Suku Tengger.
Ada pula yang menyebutnya sebagai basa ngisor atau bahasa bawah. Yakni bahasa yang dipakai oleh masyarakat yang ada di bawah.
Itu bukan merendahkan. Melainkan sebagai pembeda geografis. Sebab, masyarakat Tengger tinggal di lingkungan Bromo yang dhuwur atau tinggi. (*)