Menyelami kehidupan masyarakat Suku Tengger adalah sama seperti menghitung jumlah bulir pasir di Segara Wedi, Bromo. Tak pernah selesai. Mereka punya kedalaman filosofi hidup, spiritual, serta adat-istiadat yang unik. Harmonis sebagai masyarakat. Ramah sebagai individu.
Kemarau tahun ini rasanya cukup panjang. Terik, gerah, dan menyengat. Membuat kulit yang sudah sawo matang menjadi matang berlebihan. Maka saat mendengar bahwa event Eksotika Bromo 2023 kembali digelar di Segara Wedi, Gunung Bromo, saya dan fotografer Harian Disway Julian Romadhon, langsung antusias untuk hadir.
BACA JUGA: Ruwat Rawat Segara Gunung, Tema Eksotika Bromo 2023
Selain karena kami pecinta budaya, kami berdua rindu dengan cuaca dingin dan sejuk ala pegunungan. Heri Lentho, pembina JatiSwara sekaligus kreator Eksotika Bromo, memberi tahu kami bahwa putrinya, Afifa Prasetya, berdiam di Balai Latihan Kerja (BLK) di Kandangan, Tosari, Pasuruan.
Afifa Prasetya, koordinator Eksotika Bromo 2023 yang tinggal di Balai Latihan Kerja, Kandangan, Tosari. -Julian Romadhon/HARIAN DISWAY-
Di BLK tersebut terdapat berbagai alat musik dan segala fasilitas yang ditujukan sebagai sarana berkreasi muda-mudi Suku Tengger. "Dia juga koordinator Eksotika Bromo 2023, temui saja," kata Heri.
Pada Jumat, 6 Oktober 2023 kami berangkat ke Tosari. Selain saya dan Dhona -panggilan Julian, ada seorang kawan yang turut serta. Yakni Ahmad Rijaluddin yang dipanggil Ical. Ia pernah magang sebagai fotografer di Harian Disway. Selepas itu, ia masih ingin berguru pada Dhona, mentornya, dan mencari pengalaman memotret.
Saat itu hari telah sore. Kami sampai di kawasan Nongkojajar sekitar pukul tujuh malam. Setelah berhenti sejenak untuk makan di sebuah depot di Pasuruan. Jalanan terus menanjak. Melewati hutan pinus dengan penerangan yang minim.
Sekitar 10 kilometer sebelum memasuki Pasar Nongkojajar, di depan mobil kami ada dua truk. Paling depan, ukurannya besar. Dari remang sinar bulan, terlihat bahwa truk itu berwarna cokelat. Cukup kotor dan berdebu. Di baknya terlihat coreng-moreng pasir kering.
Namun, saat di tikungan tajam, truk paling depan tersebut tak terlihat lagi di pandangan. Mungkin karena tertutup tebing. Begitu pikir kami. Namun, setelah menyalip truk yang ada di depan kami, truk paling depan tersebut hilang dari pandangan.
"Logikanya kalau kita menyalip truk depan, pasti kita akan berada di belakang truk cokelat, bukan. Tapi di mana truk itu?," tanya Ical. "Mungkin belok, menepi," kata saya. "Lo mana mungkin truk sebesar itu belok atau menepi. Ya pasti akan terlihat dong! Ini enggak keliatan sama sekali," tukasnya. Ia tampak terheran-heran lalu mengusap lengan kanannya. Merinding.
Kami berdua melihat ke arah Dhona yang sedang menyetir. "Sampeyan lihat truk cokelat tadi, kan?," tanya kami, kompak. Ia tersenyum lalu menghela napas panjang. Lagaknya sudah seperti dukun kuku. Seakan bisa melihat segala sesuatu dari kuku ibu jarinya. "Ya, aku lihat kok. Memang hilang entah ke mana," kata Dhona.
Eits, itu bukan satu-satunya "gangguan" yang kami alami dalam perjalanan. Masih ada lagi. Tapi itu akan saya ceritakan nanti.
Di sepanjang perjalanan, berbagai aktivitas masyarakat Suku Tengger yang berdiam di Tosari ini bisa ditemui. -Julian Romadhon/HARIAN DISWAY-
Jalur Bromo lewat Tosari memang berliku-liku. Banyak terdapat tikungan tajam sehingga ketika dua mobil berpapasan, harus saling memelankan kendarannya dan sama-sama melihat haluan. Jalur Tosari dikenal sebagai jalur yang cukup dekat dengan Bromo. Tapi jalannya curam.
Akses lewat Malang pun begitu. Berbeda dengan Probolinggo atau Lumajang. Meski relatif jauh, tak begitu banyak tikungan tajam.
Sesampainya di kawasan Tosari, hawa dingin mulai menyergap. Hanya sedikit warga yang beraktivitas pada pukul delapan malam. Warga Tengger cukup khas. Beberapa dari mereka mengenakan udeng. Di pundaknya selalu tersampir sarung atau kain batik untuk mengusir hawa dingin. Baik lelaki maupun perempuan.
Para remaja Tengger yang tengah berlatih main musik di Balai Latihan Kerja, Kandangan, Tosari, di ruangan yang menjadi sarana berekspresi mereka selama ini. -Julian Romadhon/HARIAN DISWAY-
Kain itu disebut "kaweng". Di kawasan itu kami mencari penginapan sejenak, lalu segera ke BLK. Afifa telah memberitahu lokasinya lewat Google Maps. Rombongan kami bertemu dengannya. Berpapasan di jalan. Afifa yang berboncengan dengan keponakannya yang seumuran, menyapa kami dengan sedikit berteriak, "Om!"