DUNIA diam. Rasa kemanusiaan telah hilang. Kita semua diam. Hanya bisa menyaksikan kehancuran Kota Gaza, juga penderitaan dan kematian satu per satu warganya.
Perjuangan yang dilakukan Hamas tidak bisa disamakan dengan kejahatan perang yang dilakukan Jepang di zaman Perang Dunia. Karena itu, Kota Gaza tak layak mendapatkan kekejaman seperti Kota Hiroshima.
BACA JUGA: Tragedi Kemanusiaan di Gaza dan Hipokrisi Barat-Amerika Serikat
BACA JUGA: Palestina, Satu-satunya Negara yang Masih Terjajah
Membela Kemanusiaan
Narasi dan framing tentang situasi di Jalur Gaza telah sukses mematikan, setidaknya melemahkan, empati kita terhadap penderitaan rakyat Palestina. Bangsa Palestina, rakyat, dan pemerintahnya, baik di Tepi Barat maupun Jalur Gaza, hanya ingin menuntut hak atas tanah dan kedaulatan mereka.
Tanah yang direbut, diduduki, dan akan diambil semuanya oleh sekelompok politikus zionis yang mendirikan negeri Yahudi bernama israel di tanah Palestina. Rakyat Palestina terusir dan tersisih di tanah mereka sendiri.
BACA JUGA: Siapa Pengkhianat Bangsa Palestina?
BACA JUGA: Konsistensi Dukungan ke Palestina, Quo Vadis?
Sudah tiga perempat abad rakyat Palestina kehilangan harkat dan martabat mereka sebagai manusia. Terusir, dijajah, dan sekarang dibunuh negara pencaplok tanahnya. Namun, kita semua diam.
Membela Palestina adalah membela kemanusiaan. Pada masa sebelum Perang Dunia II, bangsa Palestina selama empat abad adalah salah satu bangsa yang beradab. Pada berbagai bidang.
Bidang ekonomi dan perdagangan, ilmu pengetahuan, bahkan seni dan kebudayaan. Bangsa Palestina menjadi satu di antara sedikit bangsa di dunia yang telah memiliki peradaban tinggi dan cermin masyarakat toleran. Kala itu hidup damai dan berdampingan masyarakat Arab Palestina dan warga minoritas Yahudi.
BACA JUGA: Spirit Hari Pahlawan: Surabaya dan Gaza, Dua Kota yang Tak Pernah Menyerah
BACA JUGA: Totalitas Bela Palestina, MUI Keluarkan Fatwa Boikot Produk-Produk yang Dukung Israel
Mimpi indah rakyat Palestina mulai terusik. Seusai Perang Dunia I. Kala itu seorang menteri dari sebuah negara Barat yang kolonialis dan imperialis memberikan dukungan terbuka atas sebuah aspirasi berdirinya sebuah negara Yahudi di tanah Palestina.