Tragedi Kemanusiaan di Gaza dan Hipokrisi Barat-Amerika Serikat
TOFAN MAHDI (penulis) saat berada di Tepi Barat, Palestina, 2007. -Dok Pribadi-
MENURUT catatan Al Jazeera, hingga Senin, 16 Oktober 2023, sedikitnya 4.000 orang tewas dan 14 ribu lainnya terluka akibat perang antara pejuang Hamas Palestina dan Israel.
Tentu saja, korban terbesar ada di pihak Palestina, termasuk yang menjadi korban adalah anak-anak dan warga sipil Palestina.
Jika perang itu tidak dihentikan, serangan Israel ke Jalur Gaza sama saja dengan genosida atau pemusnahan suku bangsa Palestina oleh negara Zionis Israel.
BACA JUGA:Pakar HAM PBB Tuding Israel Melakukan Pembersihan Etnis Massal terhadap Warga Palestina di Gaza
Sayang, Dewan Keamanan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) tidak bisa melakukan apa-apa. Sebab, setiap muncul gagasan resolusi untuk mendukung perjuangan Palestina, Amerika Serikat sebagai anggota tetap DK PBB akan mengeluarkan hak veto.
Perjuangan Bangsa Palestina
Eskalasi perang Hamas dengan Israel kali ini mungkin yang terbesar setelah Perang Yom Kippur pada 6 Oktober 1973. Serangan dadakan para pejuang Hamas ke sejumlah kota Israel yang berbatasan dengan Jalur Gaza, sepertinya, terinspirasi dengan kemenangan koalisi negara-negara Arab dalam Perang Yom Kippur.
Kala itu, di tengah keheningan warga Israel memperingati Hari Raya Yom Kippur, berbagai wilayah yang diduduki Israel diserang koalisi negara Arab yang dipimpin Mesir di bawah Presiden Anwar Saddat.
BACA JUGA:Teringat Perang Khandaq: Israel Kepung Palestina, Tel Aviv Dikepung Banjir Duluan
Dalam Perang Yom Kippur, koalisi negara-negara Arab menang dan memaksa Israel untuk melakukan gencatan senjata. Israel juga dipaksa mengembalikan wilayah yang direbut pada Perang 6 Hari (Six Days War) tahun 1967 seperti Terusan Suez dan Gurun Sinai kepada Mesir.
Sayang, Dataran Tinggi Golan dan Jerusalem Timur belum dikembalikan kepada Suriah dan Palestina hingga hari ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: