HARIAN DISWAY - Kontroversi seputar keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) kini telah mendapatkan klarifikasi. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menyimpulkan bahwa Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, dalam kapasitasnya sebagai Hakim Terlapor, telah terbukti melanggar kode etik hakim.
Pelanggaran yang dimaksud sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan.
Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memberikan sanksi kepada Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman karena melanggar kode etik perilaku Hakim Konstitusi.
BACA JUGA: Penetepan Capres-Cawapres: Suhu Panas Efek MKMK
"Keputusan MK No 90/2023 menjadi catatan kelam dalam sejarah putusan Mahkamah Konstitusi," ujar Ketua Perkumpulan Perguruan Tinggi Nasionalis Indonesia atau Pertinasia Prof. Dr. Mulyanto Nugroho, MM., CMA., CPA.
Nugroho menjelaskan bahwa putusan MKMK tidak akan mempengaruhi keberlakuan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Salah satu amar putusan dari MKMK adalah memutuskan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman sebagai Hakim Terlapor melakukan pelanggaran.
Sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan.
MKMK ujarnya, memutuskan memberhentikan Hakim Konstitusi Anwar Usman dari jabatan Ketua MK, tidak berhak mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan MK sampai masa jabatannya berakhir.
Serta tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan.
”Keputusan tersebut menjadi pengalaman yang berharga bagi hakim konstitusi untuk terus mempertahankan sikap netralitas,” ujarnya.
Fungsi MKMK lanjut Nugroho, melakukan pengawasan terhadap kode etik dan perilaku Hakim MK dan bukan pada substansi putusan MK.
Terlebih lagi dalam pasal 24C ayat (1) UUD RI 1945 menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan binding
"Artinya secara hukum tidak ada upaya lain yang dapat ditempuh terkait dengan hasil amar putusan tersebut," ucap Nugroho yang juga Rektor Untag Surabaya.
Dalam Putusan MKMK Nomor 02/MKMK/L/11/2023 tersebut, salah seorang anggota MKMK yaitu Bintan R. Saragih memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion).