BACA JUGA: Rupa-Rupa Karya di Dies Natalis ke-34 Teater Kusuma Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Ketika dunia perpolitikan cenderung menunjukkan niretik, kampus itu ternyata masih memberikan contoh nyata. UGM tak serta-merta kehilangan daya kritisnya meski alumninya menjadi bagian dari kekuasaan. Rangkaian Dies Natalis Ke-75 UGM menjadi pembuktian nyata terhadap komitmen etik tersebut.
Tidak ada satu pun dari kandidat pilpres yang memperoleh panggung dalam rangkaian acaranya. Sekalipun Rakernas Kagama yang ketua umumnya Ganjar Pranowo. Mantan gubernur Jateng itu melimpahkannya kepada sekretaris jenderal dan para wakilnya untuk mengendalikan dan memimpin agenda organisasi tahunan tersebut.
Ia hanya datang ikut dalam acara Nitilaku –semacam pawai napak tilas yang diselenggarakan setiap tahun. Keikutsertaannya tidak di panggung sebagai ketua umum, tapi sebagai peserta dari komunitas para alumnus aktivis Gelanggang Mahasiswa. Ia menyatu dengan rombongan lainnya. Menjadi peserta pawai lengkap dengan kostum baju daerah seperti alumni lainnya.
BACA JUGA: Dies Natalis ke-68 Universitas Airlangga: Peringkat 81 Asia dan Nomor 2 Nasional
Dalam forum, rangkaian acara rakernas dan dies natalis yang diikuti semua pendukung capres dari UGM itu tetap berlangsung guyub. Ketika ada alumni yang secara terbuka menyesalkan gerakan ketua BEM yang kritis terhadap presiden RI, langsung ada yang menanggapi sebaliknya. Namun, tetap dalam suasana guyub rukun.
Intinya, semua ada kesadaran etis untuk menjaga independensi kampus. Hal tersebut tidak datang dari satu pihak. Tapi, dari semua civitas academica, termasuk para alumnusnya yang telah tersebar menjadi pendukung para kandidat. Saya termasuk yang ikut bangga dengan kampus produsen para calon pemimpin nasional itu.
Mengamati Kampus Oxford dan UGM, rupanya tradisi dan etik memang harus berjalan bersamaan. Tradisi adalah sesuatu kebiasaan baik yang dipertahankan secara terus-menerus. Sedangkan etika merupakan kerangka tingkah laku yang baik yang diikuti bersama. Dua hal yang saling bersinggungan yang untuk menjaganya perlu komitmen bersama.
BACA JUGA: City University, Harapan Uwika Sambut Dies Natalis ke-36
Tradisi akademik, tradisi guyub rukun, tradisi saling menghormati, dan tradisi untuk memberikan ruang perbedaan pandangan dan pendapat. Kampus memang seharusnya demikian. Menjadi penjaga bagi keberlangsungan tradisi kampus sebagai ruang pencipta kaum cendekiawan dan para pemimpin masyarakat. Juga, menjadi standar etis bagi masyarakatnya. Tradisi etis yang harus dijaga.
Ketika bertekad menjadi kampus kebangsaan, ia harus memberikan contoh kepada bangsa dan negara. Karena itu, hari ini UGM meresmikan kompleks enam tempat ibadah. Keenam tempat ibadah adalah gereja Kristen, gereja Katolik, wihara, kelenteng, dan pura. Tempat ibadah itu dibangun menyusul Mardliyah Islamic Center yang sudah tegak sebelumnya.
Komitmen seperti itu sudah terbangun sejak kampus tersebut berdiri. Ia seakan menjadi tradisi yang terus dikembangkan sesuai dengan zamannya. Penjaga sekaligus memberikan contoh faktual. Tidak hanya menjadi gudang pemikiran, tapi juga menjadi eksemplar atas pelaksanaannya.
Karena itu, saya suka menyebut dies UGM tahun ini sebagai Dies Etis. Eit… jangan keliru menyebut ”ndasmu etik” seperti yang sedang viral belakangan ini lho. Bisa bahaya! (*)
*) Arif Afandi adalah wakil wali kota Surabaya (2005–2010) yang juga ketua Kagama Jatim.