BACA JUGA: Heboh KDRT Balqis dari Kapolda sampai Menko
Dikutip dari Perpustakaan Minnesota Advocates for Human Rights, berjudul Stop Violence Against Women, diulas tujuh teori penyebab seseorang jadi pelaku KDRT. Tapi, teori-teori itu tidak ada yang sinkron. Setiap teori berdiri sendiri, tidak terkait atau punya kemiripan dengan teori lain. Masing-masing mengambil sudut pandang berbeda.
Karya Michael Paymar, bertajuk Building a Coordinated Community Response to Domestic Violence: An Overview of the Problem (1994), mengutip hasil riset Domestic Abuse Intervention Project (DAIP) di Duluth, Negara Bagian Minnesota, Amerika Serikat.
Riset DAIP menghasilkan teori yang dikenal sebagai roda kekuasaan dan kendali. Maksudnya, pelaku KDRT melakukan kejahatan itu karena ingin merebut (atau tetap memegang) kekuasaan dan kendali atas pasangannya.
BACA JUGA: Venna Melinda, dari Bucin sampai KDRT
Roda kekuasaan dan kendali menggambarkan berbagai taktik yang digunakan pelaku kekerasan untuk mempertahankan kekuasaan dan kendali atas pasangannya.
Dalam hubungan yang penuh kekerasan, pelaku kekerasan menggunakan pola taktik yang dijelaskan dalam roda kekuasaan dan kontrol untuk memperkuat penggunaan kekerasan fisik. Insiden kekerasan bukanlah satu-satunya kejadian hilangnya kendali, atau bahkan ekspresi kemarahan dan frustrasi yang berulang-ulang.
Sebaliknya, setiap kejadian merupakan bagian dari pola perilaku yang lebih besar yang dirancang untuk menggunakan dan mempertahankan kekuasaan dan kendali terhadap korban.
BACA JUGA: KDRT di Depok Ini Mirip Adegan Film
Dipaparkan, roda kekuasaan dan kendali didasarkan pada asumsi bahwa tujuan pelaku kekerasan adalah menunjukkan kekuasaan dan kendali terhadap perempuan dan anak-anaknya.
Pelaku KDRT secara sadar menggunakan taktik itu untuk memastikan kepatuhan pasangan dan anak-anaknya. Dan, tindakan KDRT terjadi ketika kemarahan pelaku meledak.
KDRT dilakukan lelaki disebabkan ketidakmampuan mereka mengendalikan marah dan frustrasi. Itu terkait harapan masyarakat, bahwa lelaki dilarang cengeng. Dilarang mengungkapkan perasaan kecewa. Harus pandai menyembunyikan perasaan kecewa.
BACA JUGA: Talak Satu Billar, Kasus KDRT Proses
Akibatnya, rasa kecewa bakal bertumpuk-tumpuk. Dengan begitu, suatu saat meledak jadi kemarahan dahsyat. Dipadu dengan unsur niat ingin pegang kendali keluarga. Akibatnya, terjadilah KDRT.
Teori itu terbantahkan teori lain. R. Emerson Dobash dan Russell Dobash dalam buku mereka yang berjudul Violence Against Wives (New York the Free Press, 1979) menyebutkan, lelaki pelaku KDRT bukan karena rasa kecewa yang bertumpuk sehingga meledak jadi KDRT.
Melainkan: ”Kekerasan yang dilakukan para pelaku KDRT secara teliti ditujukan kepada orang-orang tertentu, pada waktu dan tempat tertentu pula.”