Bahkan ada peristiwa dimana peralatan tanggap bencana sejenis sirine dan instrumen teknologi yang mampu memantau gerak tsunami, sering rusak dan juga tercuri orang.
Ini bukti betapa lemahnya kontrol negara atas kekayaannya untuk mencegah terjadi korban jiwa saat bencana.
Raungan Gunung Semeru di Desember 2021 dengan korban jiwa dan raga serta harta yang hingga kini dirasakan keperihannya harus dijadikan referensi tata kelola pemerintahan yang peduli dengan nasib rakyatnya.
BACA JUGA: Polres Batu Siagakan Personel Tanggap Bencana Alam
Arena bencana itu bukan lahan tanah lapang untuk berfoto dengan riang yang diunggah memenuhi dunia medsos. Menggunakan bencana sebagai arena menampilkan diri yang terlalu masif dalam rangka agenda politik pada 2023 tidaklah elok.
Bencana itu membutuhkan sentuhan negara agar bergerak cepat hingga terjadinya korban dapat diminimalisir.
Beribu-ribu orang yang meninggal akibat gempa, gunung meletus, tsunami dan kecelakaan lalu lintas sepanjang 2018-2023 yang bersambung pada 2024 seperti tengah memberikan “tepukan air di dulang”.
Air itu muncrat memenuhi wajah pemimpin yang gagal mengelola bencana. Sorot mata manusia yang terdiri dari orang-orang dewasa sampai anak-anak yang menyesaki tenda-tenda pengungsian harus segara dijawab oleh negara untuk menjalankan mandat konstitusional.
Memulihkan keakraban dengan alam.
Jiwa-jiwa yang tergeletak pasrah dalam kerumunan tenda-tenda pengungsian di setiap kejadian bencana sesungguhnya memiliki hak untuk diramut oleh negara sedasar UUD 1945.
Tahun 2024 bukan lagi sebagai ajang untuk diskusi oleh aparatur negara tanpa solusi. Belajarlah dari tahun 2023 yang kerap melukiskan kisah pilu di balik gemerlap infrastruktur yang dibanggakan dalam julukan pembangunan.
Pembangunan fisik itu mengingatkan saya pada konstruksi Jalan Raya Anyer Panarukan di zaman 1809-1811. Jalan yang sangat inspiratif dan mengagumkan dunia hingga negara-negara Eropa tidak dapat menahan nafsunya agar dapat “menggauli Jawa”.
Kekayaan alam dikuras dari rahim Ibu Pertiwi yang suci dan sampai hari ini terus berlanjut, bahkan diberi kelambu hukum memperpanjang operasionalisasi atasnya.
Divestasi saham korporasi tambang seputaran 51 persen dielu-elukan sebagai prestasi padahal rakyat kawasan tambang terbesar dunia itu sangat miskin adanya. Gizi buruk dan kelaparan menyeruak yang membuat kita tahan napas.
Apalagi muncul gerakan separatisme tahun 2018 sampai sekarang di Papua yang tetap mengancam keselamatan warga. Diberi waktu menikmati tahun baru 2024 dengan tetap menjaga situasi agar tetap kondusif adalah anugerah.
BACA JUGA: Ricuh Pemakaman Lukas Enembe, Kapolri Perintahkan Aparat Keamanan Jaga Kondusifitas di Papua