Buku itu dapat membantu untuk mendalami pengenalan diri atau ketidakenalan atas diri mereka sendiri. Dalam telungkup kisah inilah saya tetap menerawangkan diri sewaktu azan Maghrib kala itu terdengar dan shalat harus segara dilaksanakan. Seruan azan itu sejatinya tanda jeda untuk beberapa jenak waktu agar manusia berkesempatan beraudiensi dengan Rabbnya.
Sepanjang perjalanan saya sangat menikmati gerakan umat, ibu-ibu, dan anak-anak yang melangkah menuju musala, langgar, surau, dan masjid terdekat. Beberapa langkah anak-anak dan ibu-ibu yang melangkah ke tempat ibadah itu memberikan sebersit kenangan betapa saat-saat pergi menuju Rumah Tuhan yang mewarnai sisik-melik perpilpresan saat ini amatlah membekas.
Berita kampanye itu adalah peristiwa yang berjalan beriring dengan saat salat maghrib yang sejatinya menyiratkan nilai dan menggelarkan tikar hikmah tauhid yang mengesankan. Anak-anak di kampung-kampung melanjutkan tradisi mengaji usai salat berjamaah yang terkadang guyon-gegojekan yang menyelingi.
Suara anak-anak itu menabuh lubuk hati kekhusukan salat tetapi tidaklah membatalkannya. Karena suara anak-anak itu bukanlah “penistaan” melainkan buncahan keceriaan yang dipanggul dalam kenangan sepanjang hayatnya, kelak.
Untuk itulah kehadiran anak-anak yang meramaikan tempat-tempat ibadah biarlah demi membangun “sepasukan” pemakmur tempat yang disucikan. Gang-gang sempit ternyata terasa longgar dalam jejak orang sembahyang. Termasuk di kampung-kampung nun jauh dari metropolitan.
Gemerlap mukena yang memanjang memutih dengan kelebat ke kanan dan ke kiri mengikuti gerak tangan pengenanya, terpotret seperti labirin yang mengabarkan “jalan surga”. Mukena itu seperti sayap-sayap merpati putih yang amat tertata.
Iringan itu mengingatkan pada “ajaran sai” di kala Siti Hajar menempuh takdirnya “mendaki dan menuruni” Bukit Shofa dan Marwah. Betapa kelebat mukena itu menyuarakan damainya batin dan energiknya raga penyusur Rumah Tuhan sewaktu di Jakarta sibuk pencapresan.
Itulah lamunan saya yang membersit begitu rupa di kala suara radio terus saja menyiarkan berita kampanye karena memang di Jakarta belum memasuki waktu salat Maghrib. Belalak mata tidak bisa berdusta.
BACA JUGA: Darurat Iklim Memanggil Pemimpin Berkecerdasan Ekologis (2): Kampanye Bertema Lingkungan
Dalam persaksian di jalan-jalan medsos yang melalui kanalnya sendiri dalam pekan-pekan ini terus berkelebat cuapan yang “menari ditiup angin” dalam selongsong “festival janji” yang belum kupahami: sebagai nyinyiran ataukah kewaspadaan.
Saya mengerti betapa luka menghunjam dalam, menyayat perih. Pendukungnya saling “berkikuk” karena selama ini selalu dalam posisi “jangan merapat ke sana”. Kini tuannya tampak mengusungnya penuh hormat dengan “merendahkan” harganya dalam ketiak pilpres 2024.
Ilmuwan itu ada yang ditaruh dalam posisi capres. Ada yang cawapres. Biarlah tontonan ini terus berkembang sampai Pilpres 2024 selesai dihelat.
Khusus untuk yang tidak terpilih menjadi cawapres meski menjadi ketum parpol, saya ingat lagi buku yang sangat berarti bagi akademisi karya Edward W. Said, guru besar bahasa Inggris dan Sastra Perbandingan di Universitas Columbia, Amerika Serikat. Judulnya Representation of The Intellectual yang telah dialihbahasakan menjadi Peran Intelektual: Kuliah-kuliah Reith Tahun 1993.
Ada rumpun kata yang bagus di buku ini buat kita maupun yang tidak jadi menjadi cawapres yang selama ini terkenal sebagai politisi bergaya ilmuwan: “intelektual selalu berdiri di antara kesendirian dan pengasingan”. Tapi masihkah ini berlaku atasnya tatkala dia mengambil posisi di koalisi yang tidak sepenuhnya disinggahi? (Oleh Suparto Wijoyo: Guru Besar Fakultas Hukum dan Pengajar Kepemimpinan Transformatif Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga)