Sementara itu, dari aspek filosofis, presiden sebagai kepala negara memiliki tanggungjawab moral dalam segala aspek kehidupan bernegara, termasuk penyelenggaraan pemilu, sehingga presiden wajib memastikan terlaksananya pemilu yang berintegritas untuk memastikan penggantinya adalah sosok yang berintegritas.
“Sebuah jabatan publik terikat dengan prinsip dasar yang harus dipatuhi, pejabat publik disumpah untuk menjabat sepenuh waktu, sehingga seharusnya, memang tidak ada aktivitas lain selain yang melekat pada jabatannya," ungkap Trisno.
Trisno menambahkan, aktivitas kampanye yang dilakukan oleh presiden, sekalipun sedang dalam masa cuti, juga termasuk tindakan yang tidak tepat.
Kemudian, dari sudut pandang etis dan teknis, sumpah jabatan penyelenggaraan negara, termasuk presiden adalah setia kepada Pancasila dan UUD 1945.
BACA JUGA:Dampingi Prabowo Serah Terima Pesawat, Jokowi Jelaskan Keunggulan Hercules C-130J-30
Kesetiaan itu harus diwujudkan dalam segala kegiatannya, meski presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, saat dirinya menjabat menjadi presiden.
“Artinya Jokowi sebagai presiden wajib tunduk pada rakyat, bukan pada partai politik pengusung. Di luar itu Jokowi akan selalu dipersonifikasi sebagai presiden dalam aktivitas apapun. Pada saat presiden memberikan bantuan sosial, maka akan dianggap' oleh sebagian masyarakat sebagai 'bantuan Jokowi'," sambungnya.
Trisno kemudian menyampaikan enam sikap PP Muhammadiyah atas persoalan tersebut.
Pertama, mendesak Presiden Jokowi untuk mencabut semua pernyataannya yang menjurus pada ketidaknetralan institusi kepresidenan, terlebih soal pernyataan bahwa presiden boleh kampanye dan boleh berpihak
BACA JUGA:Panas! Perdebatan Gus Ipul dan Gus Nadir Soal Netralitas PBNU di Pilpres 2024
Kedua, meminta kepada presiden untuk menjadi teladan yang baik dengan selalu taat hukum dan menjunjung tinggi etika dalam penyelenggaraan negara.
Pernyataan Majeis Hukum PP Muhammadiyah soal Presiden Boleh Berkampanye dan Memihak-Tangkapan layar-
"Presiden harus menghindarkan diri dari segala bentuk pernyataan dan tindakan yang berpotensi menjadi pemicu fragmentasi sosial, terlebih dalam penyelenggaraan pemilu yang tensinya semakin meninggi," ujar Trisno.
Ketiga, meminta Bawaslu untuk meningkatkan sensitifitasnya dalam melakukan pengawasan, terlebih terhadap dugaan digunakannya fasilitas negara (baik langsung maupun tidak langsung) untuk mendukung salah satu kontestan Pemilu.
Keempat, menuntut kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memperkuat peran pengawasan penyelenggaraan Pemilu, utamanya terhadap dugaan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pemenangan satu kontestan tertentu