Hal ini berarti calon presiden menyelami betapa lukanya hati rakyat atas suatu era yang melumpuhkan KPK. Argumentasi yuridis yang diunggah menggiring negara hukum (rechtsstaat) selaksa negara undang-undang (de staat in formele zin) yang jauh dari semangat memberantas korupsi.
Pelemahan KPK pernah berlangsung melalui instrumen hukum. Sederetan ayat-ayat positivistik diformulasi tetapi tidak menjangkau esensi kaedah juang rakyat yang menganggap korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Calon presiden diminta menjaga integritas yang dianggitkan sebagai pilihan utama dalam menentukan politik penguatan KPK. Capres tentu memahami puncak pengharapan yang di tangannya harkat negara hukum dipertaruhkan.
Buatlah rakyat Indonesia menatap cahaya KPK bagaikan “mahkota hukum” dan obor penerang yang memandu rasa keadilan sumrambah di setiap jiwa warga negara. Hukum akhir-akhir ini telah dimengerti rakyat sarat muatan norma yang mendistorsi negara hukum oleh mereka yang menunggangi demokrasi.
Ketahuilah pesan substansial Tap MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Dinyatakan bahwa Etika Politik dan Pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Narasi fundamental etika politik dan pemerintahan ini adalah agar orang yang korupsi sudi menepi.
Rakyat amat paham betapa jahatnya korupsi sehingga desakan reformasi 1998 menghadirkan institusi khusus untuk menggempurnya berupa KPK. Pada 2019 kita semua menyaksikan bagaimana gelombang mahasiswa turun ke jalan dengan arus utama membuncahkan spirit memperkuat KPK tanpa diintai oleh dewan pengawas.
Demonstrasi mahasiswa itu sampai menimbulkan korban jiwa yang rasa dukanya sampai saat ini masih tersisa. Karena itu janganlah gelombang kesadaran antikorupsi dipadamkan dengan menggunakan tembok hukum yang mengingkari suara rakyat.
Penyelenggara negara tidaklah elok membuat supremasi legal yang meminggirkan langkah antirasuah. Niscaya negara memahami kebutuhan untuk menghadirkan hukum yang memanggul rasa keadilan yang bernilai antikorupsi. Para penguasa selayaknya memiliki sensitivitas untuk mengkaji setiap gerak birokrasi dalam standar good governance yang berbasis moralitas bangsa antikorupsi.
Don Quixote
Untuk membaca perilaku para koruptor yang terus memainkan peran agar hukum “lumpuh bebek” sejatinya dapat belajar dari kisah petualangan Don Quixote yang mendunia. Terdapat literasi terang bahwa negara tidak membutuhkan “kesatria (hukum) lain” apabila setiap orang menyadari betapa korupsi itu haram adanya.
Dalam hal ini saya terhanyut dalam kebenaran yang diunggah oleh Don Quixote, tokoh sentral dalam novel besutan penyair Spanyol, Miguel de Cervantes Saavedra (1547-1616).
BACA JUGA: Politisasi Bantuan Sosial? Pelanggaran Hukum, Etika, dan Akuntabilitas Publik
Don Quizote merupakan cerita kesatria kesiangan yang mampu menyihir pembacanya untuk percaya kepada imajinasinya. Novel Don Quixote de la Mancha seperti kitab yang membius dunia dan telah dibaca bermiliar orang sejak terbit perdana pada 1605.
Don Quixote seolah berkhotbah penuh wibawa kepada negara hukum Indonesia: “Kau tahu apa tentang kesatria dan prajurit? Bagi seseorang yang mematuhi hukum kesatriaan tak perlu memperhatikan hukum yang lain”. Ya … siapa saja yang membopong nilai kesatria sedasar negara hukum Pancasila, tidaklah perlu aturan yang lain untuk mengatakan korupsi itu nista.
Ada kenyataan telanjang yang mengerikan tentang sebuah kasunyatan yang menandakan curiga bahwa dana korupsi tidak dimakan sendiri, sehingga rakyat tetap menilai kebaikan kaum koruptor yang dermawan.
Sadarilah bahwa merampas uang rakyat merupakan laku brutal, apalagi dana pajak. Korupsi menjerembabkan pribadi siapa saja. Memang, seperti yang ditulis Peter Carey dan Suhardiyoto Haryadi dalam bukunya Korupsi Dalam Silang Sejarah Indonesia, Dari Daendels (1808-1811) Sampai Era Reformasi: “Korupsi menjadi isu abadi, isu yang selalu menghantui Tanah Air”.
Tetapi mari optimistis. Bangsa ini mampu memungkasi kondisi yang memperhinakan diri ini. Presiden terpilih harus menjadi solusi memberantas korupsi. (*)