Politisasi Bantuan Sosial? Pelanggaran Hukum, Etika, dan Akuntabilitas Publik

Politisasi Bantuan Sosial? Pelanggaran Hukum, Etika, dan Akuntabilitas Publik

Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak janji Bonsos berlanjut hingga Desember 2024.--

HARIAN DISWAY - Debat capres terakhir disebut oleh publik sebagai “anti-klimaks”. Karena semua capres berusaha mempertontonkan kematangan emosinya dengan tidak melontarkan kalimat-kalimat yang ofensif. Apalagi yang mengarah pada serangan pribadi.

Meskipun demikian, situasi tetap agak memanas ketika membahas soal Bantuan Sosial yang belakangan digelontorkan Presiden Jokowi pada saat presiden sudah cukup bukti untuk dinyatakan tidak netral, memihak dan “berkampanye” -meskipun tidak terang-terangan- mendukung salah satu paslon pilpres. 

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia memang mengamanahkan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan dan mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai jaminan konstitusional pengejawantahan sila kelima Pancasila. Sehingga pasal 34 ayat (1) disebutkan Fakir Miskin dan Anak Terlantar wajib dipelihara oleh negara (untuk disejahterakan).

BACA JUGA: Menyoal Debat Capres-cawapres yang Minim Substansi: Demokrasi Industri atau Industri Demokrasi?

Ada beberapa Undang-undang yang telah dilahirkan dalam rangka untuk melaksanakan amanah UUD 1945 di antaranya: (1) Undang-undang No.11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, (2) Undang-undang No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin 

Lantas apakah kesejahteraan sosial? Ada definisi yang menyebutkan sebagai sebuah tata kehidupan sosial yang dalam aspek material dan spiritual dilingkupi rasa aman dan nyaman serta nuansa kehidupan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan sehingga memberikan ketenteraman lahir dan batin. 

Untuk mewujudkan itu maka negara perlu menyediakan/menyelenggarakan layanan-layanan sosial.

Sebenarnya ada banyak jenis layanan kesejahteraan sosial antara lain: layanan data terpadu, layanan bagi anak berhadapan hukum, layanan pendampingan bagi lanjut usia, layanan pendampingan disabilitas, dan layanan korban bencana.

Tapi, yang selalu bikin heboh adalah soal Bantuan Sosial (Bansos) berupa bantuan langsung tunai maupun non-tunai yang sengaja dilaksanakan menjelang pemilu dan “dimonopoli” penyalurannya oleh pihak-pihak yang akan berkontestasi atau memihak yang akan berkontestasi. 

Mengapa Bansos itu heboh? Sebab telah ditemukan fakta-fakta kejadian Bansos ini jadi ajang korupsi dan atau alat politik bagi mereka-mereka yang tidak menghormati etika dan hukum yang semestinya harus dijunjung tinggi. 

Akibatnya, boro-boro Bansos ini dapat menciptakan suasana aman dan tenteram bagi masyarakat terutama yang membutuhkan layanan (kelompok sasaran) tapi malah menjadi ajang rebutan harta atau rebutan suara bagi kalangan elit. 

Publik pasti belum lupa nama Bachtiar Chamsyah, Idrus Marham, hingga Juliari Batubara yang pernah menjadi menteri sosial dan terjerat kasus korupsi meskipun tidak semuanya terkait korupsi Bansos.

Bansosi itu erat kaitannya dengan Program Jaring Pengaman Sosial yang definisinya kurang lebih: “Social Safety Net consists of several government programs that are meant to provide temporary protection and assistance to people who are unemployed or lack income, in order to maintain a standard minimum of living”. 

Jadi jelas merupakan gabungan/kombinasi dari beberapa program pemerintah yang sifatnya sementara dan orientasinya adalah kepada kelompok sasaran penerima agar terjaga standar minimal kehidupannya. Bukan sebaliknya kepada pemilik otoritas/pembuat kebijakan/pemegang kewenangan agar bertambah pendapatan/kekayaan atau setidaknya terjaga kelangsungan/kelanggengan kekuasaannya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: